G30S dan Skenario Awal Tanpa Darah Jenderal

G30S dan Skenario Awal Tanpa Darah Jenderal
Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, Jakarta Timur. Monumen tersebut merupakan penanda tentang peristiwa G30S/PKI. Foto: Ricardo/JPNN.com

Namun, beberapa anggota tim penyergap mengaku menerima perintah dari Dul Arief untuk mengambil para jenderal itu dalam kondisi hidup atau mati. Tiga jenderal, termasuk A Yani, dibunuh di rumah masing-masing.

Tiga jenderal lainnya dibawa ke Lubang Buaya. Di lokasi itu, Lettu Dul Arief dan Mayor Udara Gatot Sukrisno telah menanti.

Akan tetapi, Dul Arief dan Gatot terkejut ketika melihat tiga jenderal dibawa dalam keadaan tak bernyawa. Keduanya lantas menghubungi markas gerakan untuk melapor dan baru memperoleh perintah untuk menghabisi tiga jenderal lainnya.

"Para pemimpin gerakan mulai panik mendengar bahwa Yani telah dibunuh," tutur Crouch.

Ilmuwan politik cum penulis itu menyebut terbunuhnya para jenderal telah menempatkan peristiwa tersebut dalam perspektif baru.

Menurut Crouch, gerakan yang semula berharap restu dari Presiden Soekarno itu justru tak memperolehnya. Bung Karno tidak mendukung gerakan itu.

Hal itu terungkap dari perintah Bung Karno kepada Brigjen Supardjo. Seharusnya Supardjo sebagai salah satu komandan tempur Komando Mandala Siaga (Kolaga) berada di Kalimantan Barat.

Namun, pada 1 Oktober 1965, Supardjo justru berada di Jakarta. Sekitar pukul 10 pagi, Panglima Komando Tempur II Kolaga itu menghadap Bung Karno di Istana Bogor untuk melapor.

Penguasa Orde Baru menyematkan PKI di belakang singkatan G30S sebagai cap bahwa Partai Komunis Indonesia mendalangi gerakan berdarah itu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News