Hak Pilih Warga Dengan Gangguan Jiwa Dipolitisasi Jelang Pemilu 2019

Hak Pilih Warga Dengan Gangguan Jiwa Dipolitisasi Jelang Pemilu 2019
Hak Pilih Warga Dengan Gangguan Jiwa Dipolitisasi Jelang Pemilu 2019

Sejumlah media di Indonesia melaporkan adanya kekhawatiran, khususnya di kalangan politisi, soal potensi kecurangan jika penyandang disabilitas mental menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum (pemilu) mendatang.

Hak Pilih Warga Difabel Mental:

  • Warga dengan gangguan jiwa memiliki kemampuan untuk memilih, sehingga haknya jangan dirampas.
  • Isu hak pilih warga yang psikologinya terganggu dijadikan alat politik jelang Pemilu 2019.
  • Kecurangan bisa dilakukan pada siapapun, bukan hanya kepada warga difabel mental.

Padahal menurut keputusan Mahkamah Konsitusi (MK), mereka mempunyai hal yang sama dengan warga Indonesia lainnya untuk menggunakan suara mereka saat pemilu.

Di program Indonesia Lawyer Club yang disiarkan TVOne bulan Desember 2018 lalu, Djamal Aziz, politisi yang juga mantan anggota DPR mempertanyakan mengapa "orang gila boleh nyoblos".

"Kalau orang gila boleh nyoblos, dia masuk ke TPS terus kumat, mengobrak-abrik, bagaimana kira-kira?" ujar Djamal, yang disambut tawa oleh penonton.

Jaka Ahmad, seorang tunatera yang bekerja sebagai disable specialist di CBM Indonesia mengatakan masyarakat umum telah salah mengerti soal penderita gangguan jiwa.

"Mungkin yang dimaksud Pak Djamal bahwa orang-orang dengan gangguan jiwa adalah yang berkeliaran di jalan, tidak pakai baju, suka mengamuk" ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

Menurut Jaka, masyarakat luas sudah memiliki pandangan negatif soal penderita gangguan jiwa, meski pada kenyataannya tidak semua berperilaku seperti itu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News