Haruskah Mengancam Coldplay sebagai Pendukung LGBT?

Haruskah Mengancam Coldplay sebagai Pendukung LGBT?
Coldplay. Foto: Parlophone/Atlantic

Konser Live Aid tercatat dalam sejarah sebagai siaran langsung terbesar dalam sejarah pertelevisian. Konser itu ditonton  sekitar 1,9 miliar pemirsa di 150 negara. 

Kesuksesan konser Live Aid melebihi harapan penyelenggaranya waktu itu. Awalnya sumbangan yang terkumpul diperkirakan sebesar GBP 1 juta, ternyata hasilnya mencapai GBP 150 juta.

Konser ini menampilkan lebih dari 75 aksi, termasuk Elton John, Queen, Madonna, Santana, Run DMC, Sade, Sting, Bryan Adams, the Beach Boys, Mick Jagger, David Bowie, Duran Duran, U2, the Who, Tom Petty, Neil Young dan Eric Clapton.

Ketika masyarakat dunia tidak berbuat banyak untuk membantu bencana yang dahsyat, para musisi itu turun tangan dengan mengikuti konser besar tanpa dibayar. Seluruh hasil penjualan tiket itu disalurkan untuk membantu korban bencana.

Musisi besar dunia banyak yang menjadi aktivis politik dan sekaligus aktivis lingkungan. Penyanyi Bono dari grup musik U2 terkenal sebagai aktivis lingkungan dan aktivis yang berjuang untuk memberantas kemiskinan.

Penyanyi Sting dari The Police juga dikenal sebagai pejuang lingkungan dan pejuang kelompok minoritas yang tertindak terutama suku-suku asli di berbagai wilayah pedalaman.

Dalam konteks ini, aktivitas Coldplay yang mendukung LGBT bukanlah hal baru di kalangan musisi internasional. Coldplay bukan hanya mendukung LGBT, tetapi juga mendukung perjuangan Palestina.

Pada 2011, halaman resmi Coldplay di Facebook pernah membuat unggahan yang menyerukan agar para penggemar mereka mendengarkan lagu 'Freedom for Palestine'. Tembang itu merupakan kolaborasi musik yang digagas oleh gerakan OneWorld.

Rencana mengepung konser Coldplay bisa menjadi konterproduktif terhadap citra gerakan. Coldplay meski mendukung LGBT, juga menyokong perjuanganan Palestina.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News