Haruskah Mengancam Coldplay sebagai Pendukung LGBT?

Haruskah Mengancam Coldplay sebagai Pendukung LGBT?
Coldplay. Foto: Parlophone/Atlantic

Dukungan terhadap Palestina juga ditunjukkan sang vokalis, Chris Martin. Selama bertahun-tahun, Chris menuai kemarahan penggemarnya yang pro-Israel karena sikapnya terhadap Palestina.

Pada 2019, saat Coldplay menggelar konser di Amman, Yordania, seorang penggemarnya meminta Chris menyanyikan sebuah lagu untuk Gaza. Martin juga diminta memberikan pidato berisi solidaritas bagi Palestina.

Musisi Indonesia justru harus meniru para musisi internasional yang mempunyai kesadaran sosial dan politik yang tinggi. Selama ini karya musisi mainstream Indonesia didominasi oleh lagu-lagu ‘ngak-ngik-ngok’, sebuah istilah yang dilontarkan Bung Karno.

Beberapa musisi Indonesia, seperti Iwan Fals, juga menyuarakan kritik sosial politik yang tajam. Grup rock Slank juga banyak menyuarakan kritik sosial.

Belakangan Slank menimbulkan kontroversi karena dukungannya terhadap Jokowi, bahkan salah satu personelnya diangkat menjadi komisaris perusahaan BUMN.

Penolakan terhadap konser musisi internasional juga pernah dilakukan terhadap Lady Gaga pada 2012. Penyanyi eksentrik asal Amerika Serikat itu dianggap vulgar dan aksi panggungnya sering dianggap identik dengan pornografi.

Karena kerasnya penolakan terhadap Lady Gaga, polisi akhirnya tidak mengeluarkan izin sehingga rencana penyanyi asal New York itu menggelar konser di Indonesia pun batal.

Rencana mengepung konser Coldplay bisa menjadi konterproduktif terhadap citra gerakan Islam. Pihak yang tidak setuju bisa meminta panitia penyelenggara untuk meminta Coldplay tidak membawa pesan LGBT pada konser itu.

Rencana mengepung konser Coldplay bisa menjadi konterproduktif terhadap citra gerakan. Coldplay meski mendukung LGBT, juga menyokong perjuanganan Palestina.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News