Hukuman Mati Bagi Koruptor Bisa Menghambat Pemulihan Kerugian Negara

Hukuman Mati Bagi Koruptor Bisa Menghambat Pemulihan Kerugian Negara
Yenti Garnasih. Foto: Dok. JPNN.com

"Jangan seperti BLBI toh, yang penyitaan berapa hektar ini loh, tapi ternyata status tanahnya berbeda. Satgas BLBI dengan bangganya bilang ini itu, iya tau, tapi status tanahnya itu tanah apa? Kalau status tanahnya tanah garapan itu jelas dagelan! Menyita tanah tapi ternyata punya pemerintah sendiri. Kita harus mengedukasi masyarakat, mereka tidak tahu terus masih dibohongi. Itu kan nggak boleh juga, nggak bagus lah. Jadi semuanya harus trasparan," katanya.

Yenti pun mempertanyakan ketegasan Jaksa Agung dalam kasus eks jaksa Pinangki Sirna Marasari yang masih terdapat ketidakadilan. "Terkait Pinangki, ya itulah setiap pertanyaan yang seharusnya disadari oleh kejaksaan agung dan para penegak hukum yang lain. Jika mereka mengambil langkah-langkah yang 'tidak adil' bahkan karena orang tersebut bagian dari Korpsnya sendiri, bahkan malah ada pengurangan bukannya dihukum maksimal. Itu kan menunjukkan bahwa dia tidak bisa menegakkan hukum dengan objektifp," kata dia.

Apalagi menurutnya, Kejaksaan Agung merupakan lembaga penegakan hukum yang seharusnya bisa menegakkan keadilan. "Bahkan pejabat-pejabat tertentu menurut KUHP kalau dia melakukan tindak pidana maka harus ada pemberatnya, ini malah seakan-akan meringankan," kata Yenti.

"Jadi itu seperti duri dalam daging, mau ngomong gini, 'Halah yang kemarin gimana? Nah, sekarang kok ngomong begini,' orang kan jadi mencibir 'Dulu gimana, emang iya gitu?' gitu kan. Atau semakin ketahuan bahwa 'aduh' sekarang galak ya, tapi terhadap korpsnya sendiri yang harusnya diperberat malah enggak gitu. Nah diejek nantinya kan?” ujarnya.

Selain pemidanaan bertujuan untuk penjeraan, Yenti mengatakan bahwa yang tak kalah penting adalah pencegahan tindak pidana korupsi. "Jadi perlu kerjasama semua pihak, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jangan membuat sistem yang membuat orang mau korupsi. Kita jangan hanya melihat orang korupsi di pidana mati, dipenjarakan, dibuat jera, itu tidak bisa! Jadi kita sudah saatnya harus bicara juga tentang pencegahan tindak pidana koruspi secara sitematis, dan melihat sistem-sistem yang ada di eksekutif, yudikatif dan legislatif," lanjutnya.

"Sebenarnya kalau jaksa menuntut setinggi-tingginya pidana mati, oke saja. Tapi kalau ngomong jaksa akan menghukum pidana mati itu, ya nggak bener. Nggak mungkin mereka menghukum kan? Jaksa hanya bisa menuntut setinggi-tingginya," kata Yenti.

Ia pun mengatakan bahwa seluruh pemangku kebijakan juga harus berkomitmen dalam melakukan penegakan hukuman mati bila nanti akhirnya disepakati, jangan sampai lembaga-lembaga terkait tak sejalan. "Nanti hakimnya malah bertolak belakang," kata Yenti yang juga tim perumus RUU KUHP.

Yenti menyebut jika RUU KUHP disahkan, nantinya mekanisme hukuman mati akan berubah. "Pidana mati itu merupakan pidana khusus, pidana mati itu tidak langsung dilakukan seperti sekarang ini. Tapi pidana mati itu baru akan dilaksanakan bila 'inkracht'nya telah 10 tahun. Jadi bila sekarang dijatuhkan pidana mati, itu ada waktu 10 tahun untuk menilai kembali. Setelah 10 tahun, baru akan diputuskan 'oke pidana mati atau akan berubah' gitu, jadi pidana mati yang tertunda atau pidana mati percobaan," lanjutnya.

Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin mewacanakan hukuman mati terhadap koruptor

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News