Imlek Pandemi

Oleh: Dahlan Iskan

Imlek Pandemi
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Tadi malam, umumnya tidak tidur sampai jam 00.00. Di tengah malam itu mereka harus sembahyang di rumah masing-masing.

Saya sendiri tadi malam melewatkan malam tahun baru Imlek di atas kapal feri: menyeberangi selat Sunda. Dari Merak ke Bakauheni.

Di atas feri saya mengingat-ingat apa saja yang berubah di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Sudah dua-tiga tahun ini saya tidak lagi mendengar ada orang Tionghoa yang berkata: "wo men zai guo nei..." dengan pengertian bahwa yang disebut ''guo nei'' adalah Tiongkok. Kesadaran bahwa ''guo nei'' kita itu, ya, Indonesia.

Kebiasaan salah itu mungkin bermula dari guru bahasa Mandarin mereka di masa silam: guru itu dari Tiongkok. Sehingga wajar ketika guru itu mengatakan ''guo nei'', yang dimaksud Tiongkok.

Memang saya masih berharap sebutan ''wo men zhong guo ren'' mulai bergeser ke ''wo men in ni hua ren''. Tapi yang ini mungkin perlu waktu lebih lama: kata zhong guo tidak hanya identik dengan negara Tiongkok. Kata ''zhong guo''  juga sudah identik dengan ''zhong hua''.

Kemajuan nyata terlihat di Universitas Ciputra Surabaya. Seorang dosen komunikasi di situ, Dr Maksum, orang Madura, bercerita pada saya bahwa di kelasnya hampir sama antara mahasiswa Tionghoa dan pribumi. Ia juga melihat tidak ada sekat di antara mereka.

Maksum melihat anak-anak pengusaha Muslim ingin anak mereka jadi pengusaha besar, seperti konglomerat Ciputra. Lalu menyekolahkan anak ke sana.

Di Indonesia, shio naga dimiliki oleh Presiden Gus Dur. Tiga presiden lainnya sama: Bung Karno, SBY, dan Jokowi, sama-sama bershio kerbau.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News