Jakob Oetama

Oleh Dahlan Iskan

Jakob Oetama
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

Saya sudah lama mendengar Pak Lilik tidak tertarik pada bisnis koran, tetapi baru hari itu saya mendengarnya sendiri. "Saya tidak paham koran. Ruwet," katanya merendah.

Untuk mengurus koran, Pak Lilik memercayakannya kepada kader-kader profesional ayahnya. "Untuk urusan media terserah beliau saja," katanya sambil menepuk pundak orang yang duduk di sebelahnya: Rikard Bagun, wartawan senior yang juga pernah jadi pemred di Kompas.

Pak Lilik sendiri pilih terus  memimpin Grup Santika. Yang sekarang berkembang mencapai hampir seribu hotel. Pak Lilik terlihat asyik sekali di bisnis hotel.

Kini Pak Jakob sudah tiada. Saya tidak tahu apakah kepemimpinan di Kompas selanjutnya akan dipegang keturunan Pak Jakob atau keturunan Pak Auwjong Peng Koen (P.K. Oyong, Petrus Kanisius Ojong).

Yakni orang Sawahlunto yang mengajak dan memboyong Pak Jakob dari Jogja ke Jakarta. Semula untuk bersama-sama mendirikan majalah Intisari, kemudian harian Kompas.

Pak Ojong sudah lama sekali meninggal dunia, 1980. Namun pasangan Tionghoa-Jawa, UI-UGM  itulah yang telah membuat sejarah penting pers di Indonesia.

Kompas –nama yang diberikan oleh Presiden Soekarno itu, benar-benar telah terbukti bisa menjadi kompas di Indonesia. Termasuk kompas saya.(disway.id)

Saya ikut gaya Pak Jakob yang sesekali harus mengalah –untuk menang. Lebih baik tetap bisa menyindir bertahun-tahun daripada sekali membentak lalu mati.


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News