Jatimnomics, Pendekatan Kesejahteraan Tahan Krisis

Jatimnomics, Pendekatan Kesejahteraan Tahan Krisis
Mantan Wartawan, Magister Ilmu Ekonomi IPB, Jan Prince Permata, SP, M.Si. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh: Jan Prince Permata, SP, M.Si
Mantan Wartawan, Magister Ilmu Ekonomi IPB

Pada 3 Oktober 2018 untuk pertama kalinya nilai tukar rupiah menembus level psikologis Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS) pasca-krisis keuangan 1998. Ini situasi yang kurang baik untuk perekonomian Indonesia. Bahkan hingga Rabu (11/10/2018) nilai tukar rupiah berada di level 15.235 per dolar AS.

Pelemahan nilai tukar rupiah ini antara lain disebabkan defisit neraca perdagangan tahunan yang mencapai 1,02 miliar dolar AS; kinerja perdagangan (transaksi berjalan) kurang optimal akibat defisit neraca perdagangan; adanya yield spread (resiko kredit) antara surat berharga AS dengan surat utang dalam negeri; perang dagang China dan AS; dan potensi gangguan akibat krisis ekonomi Argentina.

Pendek kata pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini disebabkan faktor internal dan eksternal yang semuanya berakar dari tren globalisasi dan integrasi ekonomi dunia yang tak mungkin kita hindari.

Indonesia sebagai negara small open economy tak bisa melepaskan diri dari krisis dan guncangan ekonomi global. Misalnya, Krisis ekonomi Asia pada tahun 1997/1998 diawali dari terdevaluasinya mata uang Baht Thailand.

Kemudian, terjadi perlambatan ekonomi dunia tahun 2001 yang diperburuk tragedi World Trade Center di New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001, sehingga mempengaruhi pasar modal di berbagai negara.

Pada tahun 2008, krisis kredit perumahan di Amerika Serikat (subprime mortgage) dengan cepat berubah mendorong krisis keuangan global. Krisis ekonomi dunia berlanjut akibat peliknya masalah utang di negara-negara Eropa (Achsani, 2014).

Data tahun 2008 mencatat kejatuhan indeks Bursa Saham Indonesia (BEI) sebesar -43,3% dibarengi depresiasi rupiah 16,88 persen disebabkan krisis keuangan Amerika Serikat. Ekspor Indonesia ketika itu juga mengalami penurunan akibat turunnya permintaan di negara tujuan. Pelemahan rupiah dan penurunan ekspor pada akhirnya memicu penurunan cadangan devisa Indonesia.

Indonesia ke depan akan terus menghadapi berbagai permasalahan domestik dan tantangan global yang makin kompleks. Untuk itu perlu sebuah kontruksi ekonomi baru.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News