Reforma Agraria Jalan Keluar dari Ketidakadilan Pembangunan

Reforma Agraria Jalan Keluar dari Ketidakadilan Pembangunan
Mantan wartawan dan calon anggota DPR RI Periode 2019-2024 dari Partai Demokrat Dapil 8 Jawa Timur, Jan Prince Permata. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh: Jan Prince Permata S.P, M.Si

Mantan wartawan dan calon anggota DPR RI Periode 2019-2024 dari Partai Demokrat Dapil 8 Jawa Timur

Dunia kini mengalami berbagai perubahan global fundamental yang berlangsung cepat. Perubahan fundamental tersebut antara lain disebabkan pertarungan idiologi dan pemikiran yang membawa manusia pada suatu pengalaman dan kehidupan baru yang penuh tantangan.

Futurolog, Yoshihiro Francis Fukuyama, melalui bukunya yang popular berjudul ‘The End of History and The Last Man’ pernah menggambarkan bahwa pertarungan idiologi dan pemikiran yang mewarnai sejarah masyarakat global telah berakhir dengan kemenangan mutlak ekonomi pasar bebas (free market economy). Fukuyama menekankan bahwa pasar bebas akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan pembangunan global. Namun, kenyataan berkata lain. Memasuki abad 21 praktik ekonomi pasar bebas tetap mereproduksi permasalahan kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakadilan.

Hingga detik ini kita ketahui bahwa sedikitnya satu miliar dari tujuh miliar manusia di planet bumi masih terbelenggu dalam kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakadilan. Mereka kerap diasosiasikan sebagai ‘anak haram’ pembangunan, yang secara keseluruhan membentuk kesenjangan struktural atas dasar pembelahan kaya dan miskin; maju dan terbelakang. Kondisi ini merupakan kenyataan pahit yang dialami masyarakat tak hanya dalam suatu negara (elite dan rakyat), tetapi juga antar-negara (negara kaya dan negara miskin).

Bagi Indonesia yang telah merdeka 73 tahun, problem kemiskinan, kesenjangan dan ketidakadilan tersebut merupakan kenyataan menyedihkan yang jauh dari cita-cita bapak pendiri bangsa (founding fathers). Bung Hatta dalam salah satu tulisannya berjudul “Politik dan Ekonomi” (pertama kali dimuat dalam Daulat Ra’yat, No. 36 Tanggal 10 September 1932) menegaskan bahwa ”Politik dan ekonomi harus sejalan, mendorong ke muka! Politik harus berusaha menuntut hak rakyat. Ekonomi berusaha untuk memperbaiki dan menyelamatkan penghidupan rakyat… memerdekakan penghidupan rakyat”.

Pasal 33 UUD 1945 (yang telah diamandemen) menyatakan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”. Konstitusi kita ini mengamanatkan adanya bangunan perekonomian yang didalamnya rakyat bisa memperoleh keadilan dan kemakmuran. Pendek kata, untuk menghindari terjerumus pada jalan kegelapan yang lebih panjang maka diperlukan keberanian untuk putar haluan, ‘banting stir’, mengarahkan kembali perjalananan pembangunan sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa.

Tekad dan keinginan untuk mewujudkan kebijakan pembangunan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat relevan untuk terus kita perbincangkan. Hari ini, 24 September termasuk hari yang penting untuk merefleksikan kembali bangunan dan arah pembangunan kita. Mengapa? Karena 24 September telah ditetapkan pemerintah sebagai Hari Tani Nasional berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 169 Tahun 1963. Penetapan ini juga mengacu kepada tanggal disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan UUPA pada 24 September 1963 Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Rotong (DPR-GR).

Gini ratio penguasaan tanah di Indonesia mendekati angka 0,58. Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 59 persen luas tanah di Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News