Jenderal Baliho

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jenderal Baliho
Ilustrasi tentara. Foto: dok/JPNN.com

Karena itu tentara akan dengan leluasa menguasai kehidupan sipil. Inilah yang ingin dihindari oleh Nasution.

Tentara tidak boleh mendominasi kehidupan politik dengan kekuatan senjatanya.

Kondisi inilah yang justru terjadi di masa kekuasaan Orde Baru. Soeharto secara sengaja memanipulasi dwifungsi dengan menjadikan militer sebagai kekuatan pertahanan dan sekaligus menjadi kekuatan dominan dalam politik.

Di masa Soeharto, dwifungsi berarti menjadikan tentara sebagai kekuatan pertahanan-keamanan dan sekaligus kekuatan sosial-politik.

Dalam praktiknya, tentara mendominasi pemerintahan sipil, mulai dari pusat sampai ke daerah. Soeharto melakukan militerisasi politik Indonesia, dan bersamaan dengan itu menempatkan politisi sipil dalam posisi marjinal.

Tentara tidak mendirikan partai, tetapi secara otomatis mempunyai jatah kursi di DPR dan MPR. Tanpa susah-susah ikut pemilu tentara sudah dapat kursi gratis yang cukup signifikan.

Dengan memarjinalkan partai-partai politik--dan pada saat bersamaan memanipulasi Golkar dan menjadikannya sebagai mesin politik yang efektif—Soeharto bisa mengontrol dan mengendalikan Indonesia selama tiga dasawarsa lebih.

Tentara memegang peran strategis di semua lini. Di lembaga legislatif tentara--yang berkoalisi dengan Golkar--mempunyai suara mayoritas yang kokoh.

Netizen menyebut seharusnya seorang jenderal terjun ke pertempuran, bukan ke Petamburan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News