JHT

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

JHT
Ilustrasi buruh. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Wong cilik atau orang kecil menjadi kosa kata sakral dalam politik Indonesia. Agak susah mencari padanannya dalam istilah bahasa Inggris, tetapi dalam tradisi sosialisme mungkin lebih dekat dengan proletar yang umumnya tediri dari kalangan buruh.

Ada partai yang mengeklaim sebagai partai wong cilik, yang memperjuangkan kepentingan dan hak-hak wong cilik. Respresentasi paling pas dari wong cilik adalah kaum buruh atau kalangan pekerja.

Namun, pemerintahan yang didukungnya justru tidak membela wong cilik yang diwakili oleh para buruh. Ini kenyataan yang ironis sekaligus lucu.

Ironis karena buruh merasa tidak mendapatkan dukungan politik dari partai wong cilik. Lucu karena lucu saja. Partai wong cilik, tetapi tidak membela wong cilik.

Ribuan buruh melakukan demonstrasi di kantor kementerian tenaga kerja (16/2). Mereka menuntut agar peraturan Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikeluarkan oleh menteri tenaga kerja dicabut. Buruh marah karena ada aturan baru bahwa dana JHT baru bisa dicairkan setelah seorang pekerja berusia 56 tahun.

Kalau sekarang seorang pekerja berusia 36 tahun dipecat dari pabrik tempatnya bekerja maka dia harus menunggu 30 tahun untuk bisa mencairkan uang jaminannya. Uang itu bukan uang pemerintah, uang itu milik para pekerja yang dikumpulkan rupiah demi rupiah.

Ketika buruh membutuhkannya pada saat paling kritis, dana itu malah tidak tersedia. Menunggu 30 tahun tentu bukan opsi yang menyenangkan. Namun, itulah yang dilakukan pemerintah. Dengan berbagai alasan dana itu ditahan.

Dana JHT jumlahnya sampai Rp 550 triliun, sebuah jumlah yang bikin ngiler ketika kas negara sedang tipis seperti sekarang. Ketika pemerintah sedang berada pada puncak kreativitas untuk mencari sumber dana, maka jumlah sebesar itu sungguh sangat menggoda.

JHT itu bukan uang pemerintah, tetapi milik para pekerja yang dikumpulkan rupiah demi rupiah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News