JHT

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

JHT
Ilustrasi buruh. Foto: Ricardo/JPNN.com

Lucu dan ironis itu beda tipis. Tergantung cara pandang.

Ada satu kejadian yang oleh seseorang dianggap lucu dan mengundang tawa atau senyum simpul, tetapi oleh orang lain dianggap sebagai ironi yang menyesakkan. Buruh menuntut uangnya sendiri untuk dicairkan, tetapi dipersulit. Itu lucu, tetapi juga ironis.

Pemerintah sudah punya jurus jitu untuk menghadapi serangan buruh. Saat buruh turun beramai-ramai mendemo omnibus law, pemerintah mempersilakan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Setelah digugat dan kalah, pemerintah masih bisa kucing-kucingan dua tahun untuk mengebut menjalankan agendanya sendiri.

Karena itu, kali ini pun pemerintah sudah bisa mengukur kekuatan para buruh. Demo beberapa ribu orang dihadapi oleh Menaker, diberi janji tiga bulan, lalu buruh akan menggugat ke PTUN. Kalau buruh menang di PTUN apakah pemerintah akan mencabut peraturan itu? Anda sudah tahu jawabannya.

Itulah lucunya negeri ini. Sejarah berulang kali terjadi dan terjadi lagi, dan dianggap sebagai hal yang biasa dan bahkan dijadikan bahan lelucon. Sejarah yang berulang-ulang memang menjadi lelucon. Begitu kata filsuf Prancis Jean Baudrillard (1929-2007). Namun, Baudrillard mengingatkan, lelucon yang berulang akhirnya membuat sejarah.

Baudrillard kita kenal dengan teori simulasi dan simulacra. Saat ini kita hidup dalam dua dunia itu. Kita berada pada sebuah ruang dalam kebudayaan, di dalamnya sebuah kebohongan--yang dibungkus dalam kemasan yang menarik--dapat berubah menjadi sebuah kebenaran. Sebuah kepalsuan--yang ditampilkan lewat teknik penampakan dan pencitraan yang sempurna--dapat terlihat sebagai keaslian.

Sebuah ilusi yang dikonstruksi lewat kerumitan teknologi artifisial yang mencengangkan dapat diterima sebagai sebuah realitas. Sebuah kejahatan, yang dibungkus lewat rekayasa sosial yang berteknologi tinggi, dapat menjelma menjadi sebuah kemuliaan.

Inilah sebuah dunia yang di dalamnya kebenaran tumpang tindih dengan kedustaan, keaslian silang menyilang dengan kepalsuan, realitas bercampur aduk dengan ilusi, kejahatan melebur dalam kebajikan, sehingga di antara keduanya seakan-akan tidak ada lagi ruang pembatas.

JHT itu bukan uang pemerintah, tetapi milik para pekerja yang dikumpulkan rupiah demi rupiah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News