Jika Budi tak Dilantik, Ini Jenderal-jenderal Berpeluang jadi Kapolri

Jika Budi tak Dilantik, Ini Jenderal-jenderal Berpeluang jadi Kapolri
Komjen Pol Budi Gunawan. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Presiden Joko Widodo belum menyatakan sikap, akan melantik atau tidak Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri.

Namun andaikata Budi Gunawan yang berstatus tersangka itu gagal jadi Kapolri, Presiden Jokowi diprediksi tidak akan kesulitan, karena masih ada delapan jenderal bintang tiga lainnya yang potensial. Siapa mereka?
    
Mereka adalah Wakapolri Badrodin Haiti (Akpol 1982), Irwasum Dwi Priyatno (1982), Kabaintelkam Djoko Mukti (1981), dan Kabaharkam Putut Eko Bayu Seno (1984). Kemudian ada Kabareskrim Suhardi Alius (1985), Kepala BNN Anang Iskandar (1983), Kepala BNPT Saud Usman Nasution (1981), dan Sestama Lemhanas Boy Salamudin (1982).
    
Kedelapan komjen tersebut diajukan oleh Kompolnas ke meja Jokowi bersama nama BG. Hanya saja, sebagian besar dari mereka sisa karirnya di bawah dua tahun. Saat pencalonan Sutarman pada 2013, Kompolnas memberi persyaratan tambahan berupa sisa karir minimum dua tahun atau berjarak dua tahun batas usia pensiun .
       
"Kalau kurang dari dua tahun, maka belum apa-apa dia sudah harus pensiun," tutur anggota kompolnas Adrianus Meliala. Kapolri pensiun di usia 58 tahun. Apabila mengacu persyaratan Kompolnas, maka calon Kapolri saat dicalonkan usianya tidak boleh lebih dari 56 tahun.
    
Apabila mengacu hal tersebut, maka calon yang tersisa tinggal tiga, yakni Dwi Priyatno (55 Tahun 2 bulan), Putut Eko Bayu Seno (53 tahun 8 bulan), dan Suhardi Alius (52 tahun 8 bulan).

Merekalah yang paling berpeluang menggantikan BG sebagai calon Kapolri. Ketiganya juga masuk dalam opsi kedua penggantian kapolri apabila dilakukan saat Sutarman Pensiun awal November mendatang.
    
Dwi dua kali menjadi Kapolda, yakni di Jateng (2013) dan Metro Jaya (2014). Karir Budi terbilang cukup lengkap. Dia pernah bertugas di Direktorat Lalu Lintas, lalu menjadi Atase kepolisian di Malaysia, Direktorat sabhara, dan menjadi Kepala Biro Misi Internasional Polri.
       
Dia juga pernah menjadi direktur JCLEC, sebuah lembaga pendidikan polisi lintas negara yang berpusat di akpol Semarang dan menjadi Staf Ahli Sospol Kapolri. Dwi hanya kurang pengalaman di bidang reskrim dan intelkam.
    
Kemudian, Putut tiga kali menjadi Kapolda, masing-masing di Banten (2011), Jabar (2011), dan Metro Jaya (2012). Sebelum menjadi Kapolda, karirnya banyak dihabiskan di bidang Lalu Lintas.

Dia juga pernah menjabat Kapolres Situbondo dan Jember. Saat menjadi kapolda Metro Jaya, pada akhir 2013 Putut mengklaim bahwa Polda Metro Jaya berhasil menuntaskan tanggungan kasus narkoba hingga 100 persen.
    
Sementara, Suhardi hanya sekali menjadi Kapolda, yakni di Jawa Barat pada 2013. Namun, dia sempat menjadi Wakapolda Metro Jaya pada 2011. Semasa menjadi Kabareskrim, sejumlah kasus besar berhasil diungkap. Terutama, kejahatan cyber dan pencucian uang. Misalnya kasus suap pajak senilai Rp 1,6 miliar pada 2013.
    
Hanya saja, ada dua tradisi yang selama ini selalu disertakan sebagai pertimbangan saat menunjuk calon kapolri. Yakni, faktor senioritas dan kesamaan angkatan dengan Panglima TNI. Seperti halnya Sutarman yang seangkatan dengan Moeldoko (Akabri 1981). Apabila tradisi itu dilakukan, maka yang paling berpeluang di antara ketiganya adalah Dwi Priyatno.  
    
Hanya saja, penunjukan Kapolri kembali lagi kepada Presiden Joko Widodo. "Kami hanya mengajukan nama, silakan Presiden memilih," ujar Anggota Kompolnas Edi Hasibuan.

Bisa saja Jokowi memilih perwira muda sebagai Kapolri, tanpa mempertimbangkan tradisi yang selama ini berlaku. (byu)


JAKARTA - Presiden Joko Widodo belum menyatakan sikap, akan melantik atau tidak Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri. Namun andaikata Budi Gunawan


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News