Serial Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau

Kabupaten Bogor dan Tantangan Kualitas Rencana Tata Ruang

Oleh: Anton Doni Dihen

Kabupaten Bogor dan Tantangan Kualitas Rencana Tata Ruang
Direktur Teras Hijau Indonesia sekaligus Penggagas Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau Anton Doni Dihen. Foto: Dokumentasi pribadi

Kepentingan lingkungan adalah keharusan dalam terang beberapa persoalan di atas. Dan produktivitas adalah kepentingan yang tidak kurang kedudukan serta arti pentingnya.

Kabupaten Bogor, sebagaimana banyak kabupaten lain di Jawa Barat, di Jawa, dan banyak daerah di Indonesia, masih diliputi persoalan kemiskinan dan pengangguran. Tingkat kemiskinan pada Tahun 2020 yang mencapai 9,26%, yang setara dengan sekitar 500 ribu orang, bukan angka yang sedikit. Demikian pula angka pengangguran, yang mencapai 12,96 persen di Tahun 2020, atau setara dengan 320.000 orang.  Rencana Tata Ruang harus mampu berdialog dan memberi jawaban terhadap persoalan-persoalan ini.

Apakah RTRW yang sudah ada, yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 11 Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2016-2036, sudah menjawab dua kepentingan ini (produktivitas dan sustainabilitas) secara maksimal dan seimbang? Bagaimana memastikan bahwa turunannya dalam RDTR (yang belum tersedia) mampu menyediakan jawaban tata ruang yang berkualitas, informatif, jelas, dan directive untuk berbagai kepentingan terkait, termasuk di dalamnya mobilisasi investasi dan kemudahan perizinan?

Pertama, pada tingkat tujuan, sebagaimana arahan yang bersumber dari regulasi di tingkat atas mengenai cakupan RTRW, terlihat bahwa RTRW Kabupaten Bogor 2016-2036 sudah merumuskan tujuan, kebijakan, dan strategi dengan baik. Dan rumusan tujuan, kebijakan, dan strategi yang dirumuskan, secara standar relatif menyentuh kepentingan produktivitas dan keberlanjutan.

Tujuan yang dirumuskan dalam RTRW Kabupaten Bogor 2016-2036 adalah “mewujudkan tata ruang wilayah yang berkualitas, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang bertumpu pada kegiatan pariwisata, permukiman, industri dan pertanian dalam rangka mendorong perkembangan wilayah yang merata dan berdaya saing menuju Kabupaten Bogor termaju dan sejahtera.” Kemudian tujuan ini diturunkan dalam 7 poin kebijakan, dan setiap poin kebijakan diturunkan dalam sejumlah poin strategi.

Sebagaimana kriteria yang biasa digunakan dalam menilai derivasi rumusan tujuan ke dalam rumusan kebijakan dan strategi adalah konsistensi, sepintas kita melihat bahwa rumusan kebijakan dan strategi cukup konsisten dengan rumusan tujuan.

Persoalan yang dapat dikemukakan adalah absennya arahan dari kebijakan penataan ruang di tingkat atas untuk memasukkan rumusan tujuan yang lebih terkuantifikasi dan terukur, terutama berkaitan dengan produktivitas dan keberlanjutan. Ketiadaan arahan yang terkuantifikasi dan terukur ini, membuat produk kebijakan RTRW menjadi kurang fokus dan bergereget. Jika target-target terkuantifikasi dan terukur sudah dirumuskan di tingkat tujuan, maka kemudian kita akan lebih mudah membawanya ke dalam target-target di tingkat kebijakan dan strategi.

Di tengah ketiadaan arahan yang terkuantifikasi dan terukur tersebut, dalam kerangka revisi RTRW yang mungkin akan dilakukan, ada baiknya diambil inisiatif untuk memasukkan target-target produktivitas dan keberlanjutan yang relevan dengan target-target NDC (nationally determined commitment) dalam Perjanjian Paris -dan target-target SDGs (sustainable development goals).

Kabupaten Bogor berdekatan dengan sumber daya intelektual yang luar biasa, yang memungkinkan berlangsungnya proses penyusunan RDTR dan penyelenggaraan KLHS yang berkualitas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News