Kaisar Sambo

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kaisar Sambo
Ilustrasi - Irjen Ferdy Sambo. Foto: Ricardo/JPNN.com

Pak Harto tahu persis bagaimana memainkan politik kesimbangan. Pak Harto tahu Benny membangun kekuatan yang punya potensi untuk membahayakan kekuasaannya.

Karena itu, Pak Harto memainkan kartu baru untuk mengimbangi manuver Benny. Power play, permainan kekuasaan, di antara dua orang itu berlangsung panas, tetapi dingin dan tersembunyi di balik pintu.

Ketika tahu dukungan dari ABRI mulai menipis, Pak Harto memainkan kartu baru, yaitu politik Islam. Maka pada akhir 1990 berdirilah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di bawah kepemimpinan B.J Habibie.

ICMI menjadi basis baru kekuatan politik Pak Harto untuk mengimbangi kekuatan ABRI. Pak Harto memainkan politik keseimbangan dengan cermat, tetapi akhirnya terpeleset juga oleh people power gerakan reformasi 1998.

Joko Widodo sering disebut sebagai ‘’The Little Soeharto’’ atau Soeharto Kecil. Pendekatan pembangunanisme Pak Harto banyak ditiru oleh Jokowi.

Pak Harto mengutamakan pembangunan ekonomi dan meminggirkan demokrasi. Jokowi kurang lebih menempuh strategi yang sama dengan Pak Harto yang menjadikan ekonomi sebagai sumber legitimasi kekuasaan.

Pak Harto memakai ABRI sebagai basis dukungan, sedangkan Jokowi menggunakan Polri sebagai mitra kekuasaan. Bedanya, Pak Harto bisa mengendalikan ABRI dan dengan cepat mengendus faksionalisasi dan penumpukan kekuasaan yang ada di dalamnya.

Adapun Jokowi terlambat -kalau tidak bisa disebut gagal- mengendus faksionalisasi dan operasionalisasi gelap di tubuh Polri sampai meledaknya kasus Sambo.

Ferdy Sambo, sang kaisar, disebut memimpin sebuah organisasi besar yang menjadi bayang-bayang Polri. Konon organisasinya lebih powerful dibanding Polri sendiri.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News