'Kangen Jamanku?' Nostalgia Indonesia Era Suharto

'Kangen Jamanku?' Nostalgia Indonesia Era Suharto
'Kangen Jamanku?' Nostalgia Indonesia Era Suharto

Tentu saja, kebebasan warga negara dan kebebasan politik terbuka lebar. Ini adalah prestasi yang nyata tetapi kurangnya keadilan sosial ekonomi yang merata membuka jurang kehancuran.

Lebih lagi, Indonesia juga merindukan apa yang mereka anggap sebagai era "kepemimpinan yang tegas". Beberapa kebijakan "flip-flop" yang dikeluarkan pemerintah sekarang jelas berdampak pada keluarga di pedesaan, karena yang dilihat setiap hari adalah harga, dari harga bawang hingga beras dan daging yang tak terkendali.

Semua orang sudah tahu, perputaran yang demikian bukan lagi pertanda Era Suharto adalah yang terbaik.

Banyak kegagalan masa lalu Suharto (dan itu sangat banyak), namun Orde Baru membuat Indonesia mengecap kestabilan dan kemajuan yang berarti. Setelah menjadi presiden pada tahun 1967, Soeharto berhasil menurunkan angka kemiskinan di Indonesia dari hampir 60% menjadi hanya 13% sebelum krisis ekonomi melanda pada tahun 1997. Pada saat yang sama, akses kesehatan dan pendidikan meningkat secara signifikan.

Hiperinflasi – 660% di tahun 1966 berkurang menjadi 19% pada tahun 1969.

Suharto--yang mengontrol ekonomi--melindungi rakyat Indonesia dari ekses terburuk kapitalisme. Hal ini tidak terjadi dalam demokrasi dan mungkin karena itulah mengapa rakyat Indonesia merindukannya, meski bagian dari kontrolnya mempersulit ekonomi Indonesia di kemudian hari.

Ini mengherankan karena Golkar, di bawah kendali raja bisnis Aburizal Bakrie telah berusaha keras untuk memanfaatkan "Sindrom Amat Rindu Soeharto" (SARS). Partai ini menggunakan gambar Suharto dimana-mana dan bahkan mengajak serta putri Suharto, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut) dan Siti Hediati Hariyadi (Titik) untuk berkampanye bersama.

Dan ternyata ini berhasil. Golkar diproyeksikan menang 14% dari suara rakyat, yang lebih kurang merupakan status quo bagi mereka.

SUASANA semarak masih membekas ketika pemilu legislatif digelar minggu lalu. Para pakar masih merenungkan "mengapa" dan "bagaimana"

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News