Kanjuruhan Mangindaan

Oleh: Dahlan Iskan

Kanjuruhan Mangindaan
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - SAYA selalu ingat Mangindaan. Khususnya terkait dengan tragedi Kanjuruhan Malang. Yakni ketika pangkat E.E. Mangindaan masih kolonel.

Jabatannya masih komandan Korem Surabaya. Ia tentara yang cinta sepak bola, luar dalam.

Ia tidak menggunakan sepak bola untuk pansos. Darah dagingnya memang sepak bola.

Ia menghayati pemain bola itu kebanyakan dari keluarga miskin. Ia juga tahu persis bagaimana orang itu kalau sudah gila bola. Mereka bisa menggadaikan celana untuk menonton bola.

Juga bisa mencegat truk untuk menuju stadion secara gratis. Kadang truk itu ternyata berbelok ke arah lain. Lalu cari truk berikutnya.

Hari itu Persebaya lawan PSM Makassar. Di Stadion 10 November Surabaya. Itu mirip Persebaya vs Arema sekarang.

Baca Juga:

Pintu stadion jebol. Tempat duduk tidak cukup. Antara tribun dan pagar lapangan padat dengan penonton dadakan. Barisan paling depan menempel di pagar.

Di sekeliling lapangan. Pagar pun doyong. Desakan dari penonton yang baru masuk membuat yang di depan terjepit antara pagar dan desakan dari belakang.

Tragedi Kanjuruhan. Satu-satunya bahasa yang harus digunakan di lapangan bola adalah bahasa bola. Jangan yang lain, apalagi gas air mata.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News