Kapitalisme Sepak Bola

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Kapitalisme Sepak Bola
Seorang warga memegang kaus bergambarkan striker Argentina Lionel Messi dan frase yang berarti "Apa yang kau lihat, bodoh?" di suatu toko di Buenos Aires, Argentina. (12/12/2022) Foto: AFP/LUIS ROBAYO

jpnn.com - TEORI konspirasi ada di mana-mana. Di Piala Dunia Qatar pun muncul teori konspirasi.

Salah satu teori konspirasi itu menyebut Argentina sudah di-setting untuk menjadi juara. Ada beberapa indikasi yang menjurus ke arah itu.

Media Inggris, seperti The Sun, terang-terangan menyebut adanya kekuatan yang menghendaki Argentina harus juara.

Baca Juga:

Sepak bola adalah bagian dari kapitalisme global dengan perputaran uang ribuan triliun. Dalam tradisi kapitalisme global, ada privilese bagi perusahaan-perusahaan transnasional raksasa untuk mendapatkan perlindungan supaya tidak bangkrut.

Muncul jargon ‘too big to fail (TBTF)' atau terlalu besar untuk (dibiarkan) gagal yang menggambarkan pentingnya perusahaan-perusahaan besar itu untuk tetap berdiri at all cost alias sebesar apa pun ongkosnya.

Pemerintah Amerika Serikat punya daftar perusahaan berkategori TBTF yang harus dilindungi dari kebangkrutan. Pemerintah Amerika siap menggelontorkan subsidi besar untuk menjamin korporasi TBTF tetap berdiri.

Ekonomi Amerika boleh kembang kempis dihajar resesi, tetapi bonus bagi para eksekutif korporasi besar akan tetap diberikan dalam jumlah edan-edanan. Itulah prinsip TBTF yang menjadi kredo kapitalisme global.

Dalam tradisi sepak bola internasional juga ada kategori TBTF itu. Brasil gagal melewati adangan Kroasia di perempat final melalui adu penalti.

Banyak kejanggalan yang menguntungkan Argentina. Messi menjadi kandidat top scorer dengan lima gol, empat di antaranya melalui penalti.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News