'Keinginan Luhur' Politisi

Oleh; Ichsanuddin Noorsy*

'Keinginan Luhur' Politisi
'Keinginan Luhur' Politisi

Joe Klein, tangan kanan raja media di dunia Rupert Murdoch, justru mengajukan pertanyaan, tidakkah dengan kondisi yang demikian sebenarnya demokrasi merupakan basa basi aspirasi karena aspirasi yang dilaksanakan sesungguhnya aspirasi korporasi. Secara tidak langsung, gugatan Joe Klein dijawab oleh Joseph E Stiglitz bahwa itulah harga sebuah ketimpangan yang merupakan wujud kegagalan sistem. Juga merupakan harga sebuah peradaban yang menempatkan masyarakat banyak hanya sebagai mesin produksi dan alas kekuasaan bagi bekerjanya mesin kepentingan kelompok elit penguasa.

Situasi seperti ini pernah dibahas demikian mendalam dalam sidang-sidang BPU-PKI 29 Mei-1 Juni 1945. Saat memutuskan Indonesia bukanlah kerajaan tetapi republik, maka hampir semua peserta sidang menyetujui bahwa Indonesia tidak menganut demokrasi liberal, fasisme, komunisme, etatisme, dan sosialisme Timur-Barat.

Penolakan berbagai aliran pemikiran politik yang berkembang di dunia inilah yang melahirkan pasal 2 ayat (1) UUD 1945: MPR terdiri atas anggota-anggota DPR, ditambah utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Penjelasannya menyatakan agar Majelis benar-benar merupakan penjelmaan masyarakat. Saya memahami hal itu sebagai diakuinya sistem pemilu bersamaan dengan sistem elektorat (pemilihan wakil-wakil secara berjenjang pada daerah dan komunitas atau golongan).

Hibrida sistem pemilihan ini kemudian dilaksanakan oleh Majelis untuk memilih pemimpin bangsa dan negara. Jika dulu diasumsikan, masyarakat Indonesia sudah terbiasa memilih langsung kepala desanya, maka tidaklah berlebihan jika masyarakatpun memilih langsung presidennya. Sekarang terbukti pemilihan langsung Presiden itu membuka peluang pecah belahnya bangsa dan negara.

Lalu, apakah ini keinginan luhur para politisi dan kaum yang menyebut diri reformis itu? Jelas dan pasti kita menolak sistem sentralistik dan otoriter, saya pun tidak ingin kembali ke era itu. Tetapi adalah salah jika “power games” melalui pemilu telah mengubur atau paling tidak menyingkirkan keinginan luhur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Adakah cara memperbaiki?
Beberapa saat sebelum kampanye Pilpres, saya diundang diskusi di Lemhanas, Kepolisian RI dan beberapa instansi atau lembaga lainnya. Dalam diskusi itu saya menyebutkan bahwa kekuasaan politik yang membuahkan regulasi berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara telah melahirkan struktur-struktur sosial politik ekonomi seperti yang kita hadapi sekarang sebagaimana terbukti pada angka-angka (ketimpangan, kemiskinan, pengangguran, kepemilikan sumber daya dan produksi) dan kata-kata (saling jegal, saling menihilkan, transaksional material, sanjungan pada kemasan, renggangnya ikatan sosial, keringnya hubungan kebersamaan, dan saling menyalahkan serta saling membela diri dan golongan).

Struktur ini lebih lanjut membuahkan kultur masyarakat bersamaan dengan dinamika warga dalam upayanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Lihatlah jalan raya, di sana cerminan kekuasaan politik, regulasi, struktur hukum-sosial-politik-ekonomi, kultur masyarakat dan dinamika kegiatan warga masyarakat berbasis yang kuat yang menang dan the winner takes all.

Dalam sebuah talk show di Metro TV merespon visi-misi-program para capres, saya menyebutnya sebagai tegaknya sistem hukum-sosial-politik-ekonomi yang liberal. Di stasiun teve swasta lainnya, saya mengatakan hal itu sebagai produk pembangunan karakter bangsa yang dijanjikan selama kampanye 2004 dan 2009.

“INI Indonesia ya,” kata saya merespon diskusi terbatas di grup BBM Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) tentang kampanye pilpres

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News