Kekerasan Atas Nama Agama Makin Marak, Ini 5 Langkah yang Perlu Diambil Pemerintah

Kekerasan Atas Nama Agama Makin Marak, Ini 5 Langkah yang Perlu Diambil Pemerintah
Pengerusakan masjid milik jamaah Ahmadiyah di Tasikmalaya tahun 2012 silam. Foto: dok jpnn

"Perbedaan suku, agama, adat, aliran dan tradisi adalah kenyataan yang tak dapat dihindari, tapi harus menjadi sumber kekuatan untuk Indonesia, bukan sebaliknya menjadi sumber disintregasi," jelas TB Hasanuddin. 

Ketiga, saran TB Hasanuddin, dalam menangani konflik harus dicari solusi melalui musyawarah mufakat dan saling pengertian melalui dialog. Cara ini akan lebih terhormat dari pada menggunakan cara-cara kekerasan. Tindakan mengevakuasi, mengurung atau mengasingkan anak bangsa bukan sebuah solusi terbaik. 

Keempat, aparat kepolisian harus tegas menegakkan hukum dan tak boleh pilih bulu atau segan terhadap pelaku kekerasan apapun alasannya. Kelima, harus merevisi PP 2/2015 khususnya pasal 40 ayat 1 yang berbunyi "Pelaksanaan bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dilaksanakan setelah penetapan status konflik oleh kepala daerah" 

Ayat ini, tegas TB Hasanuddin, harus diubah karena tidak efektif sebab faktanya pemerintah daerah kebanyakan tidak mampu mencegah konflik. Dalam konteks ini juga, TNI sepertinya hanya diperlakukan seperti pemadam kebakaran, dihadirkan setelah korban bergelimpangan atau datang setelah kampung luluh lantak dibakar. Artinya, saat ini TNI seolah olah dibatasi oleh aturan yang ambigu. 

"Seharusnya beri kesempatan TNI masuk sebelum konflik , untuk menggalang kelompok yang akan berkonflik . Sikap ini sudah berlandaskan aturan perundang-undangan. Dari pada TNI diperintahkan masuk ke pasar untuk mengecek harga bawang, minyak dan ayam potong dan lain-lain tanpa dasar hukum yang jelas," kata TB Hasanuddin. 

TB Hasanuddin menambahkan, dalam pasal 7 UU 34/2004 pun sudah jelas tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah negara dan melindungi segenap bangsa dari ancaman dan gangguan. TNI pun punya kemampuan yang handal dalam bidang teritorial, sementara aparat Babinsa adalah mata dan telinga di desa desa. 

"TNI harus turun dalam upaya mencegah konflik. Pemerintah tak boleh ragu-ragu lagi menggunakan kekuatan TNI, yang penting terukur, karena kita sudah masuk dalam zona kritis intoleransi yang ujung-ujungnya dapat mengancam keutuhan NKRI," demikian TB Hasanuddin. (ysa/dil/jpnn)


JAKARTA - Sejak tahun 1990 sampai dengan 2008 tercatat ada 274 kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah kasus ini, 47,8 persen-nya


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News