Kelola Jembatan Pribadi Antarprovinsi, Per Hari Rp 100 Ribu
”Yang utama itu, fondasi di bawah sungai harus kuat agar landasan tidak goyang,” katanya pekan lalu.
Jam operasionalnya bukan 24 jam seperti jembatan milik Timbul. Rustam hanya mengoperasikan jembatannya mulai pukul 06.00 sampai 17.00 WIB. ”Kalau malam tutup,” katanya.
Belakangan banyak pula anak muda dari kedua desa yang memanfaatkan jembatan itu untuk berswafoto begitu sampai di bagian tengah.
”Katanya, pemandangannya bagus karena langsung berdiri di tengah-tengah Cisanggarung,” kata bapak dua anak tersebut.
Menurut Rustam, tiap pelintas sudah paham tarif yang diterapkan. Jadi, tak pernah ada yang mbeling dengan menerobos tanpa membayar.
”Kalau pejalan kaki, ya seikhlasnya, tidak dipaksa,” katanya.
Rustam yakin bahwa jembatannya itu bisa bertahan selama kemarau masih berlangsung. Juga, debit Cisanggarung belum normal.
Begitu memasuki musim hujan kelak, bisa jadi jumlah pelintas berkurang. Sebab, kalau sudah demikian, warga kedua desa biasanya lebih suka menyeberang dengan perahu.
Kalau Rustam paham sekali perihal kekuatan jembatan selebar 1 meter tersebut, itu wajar. Sebab, jembatan bambu tersebut memang miliknya.
- Dulu Penerjemah Bahasa, kini Jadi Pengusaha Berkat PTFI
- Mengintip Pasar Apung di KCBN Muaro Jambi, Perempuan Pelaku Utama, Mayoritas Sarjana
- Tony Wenas, Antara Misi di Freeport dan Jiwa Rock
- Hujan & Petir Tak Patahkan Semangat Polri Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Wilayah Terluar Dumai
- Tentang Nusakambangan, Pulau yang Diusulkan Ganjar Jadi Pembuangan Koruptor
- Pesantren Ala Kadarnya di Pulau Sebatik, Asa Santri di Perbatasan Negeri