Kemenkes: Babi Tidak Ada Dalam Kandungan Obat, Tapi Hanya Katalisator

Kemenkes: Babi Tidak Ada Dalam Kandungan Obat, Tapi Hanya Katalisator
Kemenkes: Babi Tidak Ada Dalam Kandungan Obat, Tapi Hanya Katalisator

JAKARTA - Kementerian Kesehatan menjawab keresahan masyarakat mengenai adanya obat yang mengandung babi. Pihak Kemenkes mengatakan bahwa obat-obatan tersebut bukan berbahan dasar babi, namun memang sebagian menggunakan katalisator dari minyak babi.
      
Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi menjelaskan bahwa minyak babi tersebut digunakan hanya sebagai katalisator, bukan merupakan bahan utama. Yang dalam prakteknya, katalis tersebut tidak akan tersisa dalam obat atau vaksin yang telah jadi.
      
"Menurut pendapat para ahli kami bahwa yang ada itu, hanya dalam prosesnya, dalam tripsinnya. Dan itu tidak dalam bentuk sama, masih dalam bentuk katakanlah babi. Katalis itu numpang lewat dan di produk aslinya sudah tidak ada, hanya mempercepat dan memperbaiki tapi dalam produknya sendiri tidak ada," jelas Menkes di Jakarta kemarin.
      
Namun tidak ia pungkiri, bahwa hal tersebut masih menjadi pertimbangan bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwah halal atau haramnya. Menghadapi hal itu, pihaknya telah melakukan konsultasi dengan Majelis Kehormatan Kedokteran Syariah, yang nantinya akan memberikan nasihat mana yang baik dan tidak.

"Mereka yang akan membahas dengan Kementerian Agama. Tapi jelas dengan Kementerian Agama juga kita bahas," ujar Menkes.
      
Dalam kesempatan itu, Menkes kembali menegaskan bahwa permohonan pihaknya agar masalah ini juga memperhatikan kepentingan masyarakat terutama yang terbaik baik masyarakat. "Dari pihak kami tentu kami nurut aja ahli mengatakan apa, yang bisa memberi tanggapan dari sisi agama pasti ahli agama," lanjutnya.
      
Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes, Maura Linda mengatakan bahwa tidak ada vaksin yang mengandung babi, melainkan hanya katalisator saja. "Misalnya meningitis ada yang dulu diproses menggunakan tripsin (enzim pemecah protein), tapi sekarang menggunakan bahan lain," tutur Linda.
      
Linda mengakui, bahwa pihak farmasi bisa saja memilih komponen yang dianggap tidak haram. Namun, menurutnya, kadang tidak semudah itu untuk mencari alternatif lain. Sebab berhubungan dengan bahan-bahan kimia yang kadang susah untuk diolah. Dalam proses penelitian obat sendiri sangatlah kompleks dan memakan waktu. Bahkan ada yang sampai 20 tahun.
      
"For your information, obat-obat baru itu umunya bukan dibuat di Indonesia. Jika kita ingin memisahkan suatu unsur namun datangnya ke sini sudah bentuk obat, akan sangat sulit untuk melakukannya," jelasnya.
      
Lebih lanjut ia menjelaskan, sebelum dikeluarkan obat-obat tersebut harus memenuhi tes khasiat keamanan dan mutu.Jika obat tersebut sudah dikeluarkan di pasaran, maka obat tersebut dapat dipastikan aman. Sebab jika sudah lolos tes khasiat keamanan dan mutu, unsur-unsur yang terkandung dalam obat itu pastilah tidak berbahaya.
      
Mengenai halal haram suatu obat sendiri Linda tidak berani menyatakan mana yang halal dan mana yang haram. Menurtnya, halal haram tersebut sudah masuk ke dalam wewenang MUI untuk menentukan.

Namun ia meminta agar persoalan halal/haram ini dibedakan antara obat dan makanan. Sebab, halal/ haram dari suatu obat atau vaksin tidak bisa ditetapkan dengan mudah karena menyangkut nyawa. "Kita harap dibedakan. Kita belum siap untuk itu," tandanya.
      
Mantan kepala BPOM Lucky S Slamet pun turut memberikan keterangan mengenai halal/haramnya suatu obat atau vaksi. Menurt dia, hingga saat ini mayoritas negara-negara lain di dunia juga belum memiliki sertifikasi halal atau tidak untuk produk obat. "Yang penting kan komposisinya diberi tahu," ujarnya.
      
Hingga saat ini, MUI sendiri masih belum mngeluarkan sertifikasi halal untuk beberapa jenis obat dan vaksin. Menurut mereka, banyak pihak farmasi yang masih belum mendaftarkan obat mereka lantaran masih takut untuk dilakukan pemeriksaan menyeluruh mengenai pembuatan obat tersebut.
      
Mengenai adanya penggunaan katalisator berbahan minyak babi sendiri mengingatkan kita pada kasus salah satu produsen bahan penyedap. Produsen tersebut ditengarai menggunakan minyak babi sebagai katalisatornya. Hal tersebut kontan mendapat respon negatif dari masyarakat dan MUI.

Namun akhirnya dapat dilakukan pembuktian bahwa minyak babi tersebut tidak terbawa pada hasil akhir produksi mereka. karena minyak babi tersebut hanya katalisator yang hilang sepenuhnya setelah digunakan, dan tidak terkandung dalam hasil jadi. (mia/ca)

JAKARTA - Kementerian Kesehatan menjawab keresahan masyarakat mengenai adanya obat yang mengandung babi. Pihak Kemenkes mengatakan bahwa obat-obatan


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News