Kerisauan M. Haitami, sang Penjaga Tradisi Ukiran Dayak di Kalimantan Tengah

Separuh Hidup untuk Jaga Heart of Borneo

Kerisauan M. Haitami, sang Penjaga Tradisi Ukiran Dayak di Kalimantan Tengah
KHAS DAYAK: Haitami menunjukkan salah satu karyanya, ukiran Dayak yang terbuat dari kayu ulin. Model ukiran itu telah menyebar ke berbagai negara. Foto: Amri Husniati/Jawa Pos

Sementara itu, untuk membeli tanah berukuran 19 x 150 meter senilai Rp 150 juta seperti yang diminta Tono, ayah enam anak tersebut menyatakan tidak mampu. ’’Dari mana kami punya uang sebanyak itu? Hasil kami membuat kerajinan ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,’’ tambah Mufti Rahman, putra Haitami yang mewarisi darah seni ukir dari sang ayah, seraya mengerjakan pesanan jam dinding bermotif ikan jelawat. Mufti terpaksa drop out kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta lantaran terbentur biaya.

Ironi kehidupan perajin ukir yang mengangkat nama Kalimantan Tengah dalam berbagai event itu tidak mampu ditutupi Haitami. Apalagi hampir separuh hidupnya diabdikan untuk menjaga aset budaya heart of Borneo tersebut.

Berbagai event pameran di tingkat provinsi hingga nasional dia ikuti demi mengenalkan pesona ukiran Dayak. Tidak terhitung berapa kayu ulin maupun sungkai yang disulapnya menjadi hiasan memikat, yang tidak hanya menarik minat warga lokal, namun juga mancanegara.

’’Setiap kali Kotawaringin Timur atau Kalimantan Tengah ikut pameran di daerah lain, kami pasti diajak,’’ tutur Haitami dengan nada mulai menurun.

Dia lantas menceritakan aneka kerajinan yang lahir dari sentuhan tangannya maupun yang dikerjakan generasi penerus, tetapi idenya masih dari dia. Mantan guru SD itu mengenang, dirinya kali pertama diajak berpameran semasa Kalimantan Tengah dipimpin Gubernur Suparmanto era 90-an. Saat itu, Haitami mengirimkan 16 patung kayu yang dilembur karena hanya punya waktu kurang dari dua pekan untuk menyelesaikannya –termasuk menyiapkan bahan, desain, sekaligus alat– lantaran Haitami memang benar-benar mengawali dari nol.

Patung-patung bercorak Dayak primitif tersebut menggambarkan orang yang sedang menombak kelep (kura-kura kecil), menyumpit, serta memancing. ’’Begitu patung ukiran saya dipajang di meja utama stan pameran, kerajinan yang lain langsung dipinggirkan ke tempat lain,’’ kenang Haitami tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya.

Pengalaman ikut pameran pertama di Palangkaraya pada awal 90-an itu begitu membekas. Bukan saja karena karyanya langsung ludes dibeli dengan banderol masing-masing Rp 10 ribu –yang jika dibelikan perhiasan emas bisa dapat 4 gram. Namun, apresiasi pembeli yang datang ke pameran lebih mengantarkan dia menemukan jati diri plus kebahagiaan.

’’Bagi saya, kultur kebudayaan Kalimantan terjaga itu adalah nilai yang tidak terkira,’’ tegasnya.

’Kalau memang pemerintah daerah tidak mau membantu, biar saya bakar saja semua kerajinan serta alatnya. Biarlah riwayat Baniang terkubur selamanya.’’

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News