Kerisauan M. Haitami, sang Penjaga Tradisi Ukiran Dayak di Kalimantan Tengah

Separuh Hidup untuk Jaga Heart of Borneo

Kerisauan M. Haitami, sang Penjaga Tradisi Ukiran Dayak di Kalimantan Tengah
KHAS DAYAK: Haitami menunjukkan salah satu karyanya, ukiran Dayak yang terbuat dari kayu ulin. Model ukiran itu telah menyebar ke berbagai negara. Foto: Amri Husniati/Jawa Pos

Tawaran pameran berikutnya terus mengalir. Melebar ke Pulau Dewata hingga Jakarta. Ketika pameran di Bali, patung papujut alias hantu Kalimantan menjadi favorit pengunjung. Seperti sejumlah event lain sebelumnya, pahatan Haitami ludes tidak tersisa.

’’Saya sampai ditawari orang Bali untuk bekerja pada dia dengan gaji Rp 500 ribu per bulan. Keluarga saya diboyong semua ke sana dan hidup kami ditanggung. Masih juga diberi rumah dan mobil. Tugas saya cukup mendesain dua demit Kalimantan (papujut) setiap bulan. Namun, semua tawaran itu saya tolak,’’ ungkapnya.

Sejatinya, jika dibandingkan dengan penghasilannya sebagai guru SD yang saat itu hanya Rp 94 ribu per bulan, kontrak kerja tersebut jelas menggiurkan. Namun, Haitami bergeming. Dia lebih suka hidup di kampung kelahiran dan mengembangkan kearifan lokal tanah leluhurnya.

Sebagai pemahat tradisional, alat-alat yang digunakan Haitami memang masih konvensional. Kalaupun saat ini dibantu mesin, itu sekadar untuk memotong dan menghaluskan. Yang lain tetap harus dengan sentuhan tangan. Tidak heran jika Baniang tidak bisa memproduksi masal.

Beberapa kali permintaan dalam jumlah besar terpaksa ditolak karena alat-alat produksi yang dimiliki Haitami terbatas. Dia pernah diminta menulis proposal kepada pemerintah daerah untuk meminta bantuan. ’’Sudah saya buat (proposal) sampai beberapa kali, tapi sampai saat ini tidak ada kabar sama sekali.’’

Haitami mengakui, dalam pameran terkadang ada pula barang yang tidak laku. Nah, yang membikin dia jengkel, barang sisa pameran itu merana karena tidak diurusi panitia. Pernah saat ikut pameran di Jakarta, nilai barang yang tersisa sekitar Rp 20 juta. Eh, aneka kerajinan kayu tersebut ditelantarkan begitu saja, tidak dikembalikan ke Baniang Hamimi yang bisa dicapai dengan kapal klotok dari pusat perbelanjaan Mentaya Sampit.

Haitami jelas kecewa. Di mata dia, sudah minim dana bantuan, pemda masih juga tega menyia-nyiakan nasib kreasinya. ’’Sejak 2013, saya menolak tawaran pemda ikut pameran. Lebih baik saya berkonsentrasi menerima pesanan-pesanan individu. Meskipun jumlahnya kecil, tapi lebih nyata,’’ timpal Mufti yang pernah menjadi juara nasional pemuda pelopor bidang kebudayaan.

Selain papujut, pahatan yang banyak disukai adalah patung putri Dayak, jam dinding betang, serta telabang atau perisai dinding. Untuk pewarnaan, ada yang kimiawi dan ada yang masih natural. Untuk yang alami, warna putih didapatkan dari air kapur, sedangkan hitam adalah hasil kombinasi dedaunan mengkinang tikus, gambir, serta marjan.

’Kalau memang pemerintah daerah tidak mau membantu, biar saya bakar saja semua kerajinan serta alatnya. Biarlah riwayat Baniang terkubur selamanya.’’

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News