Ketua DPR Curhat: Banyak yang Marah sama Saya

Ketua DPR Curhat: Banyak yang Marah sama Saya
Ade Komarudin. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - INTERNAL DPR tidak secara bulat mendukung pembangunan gedung perpustakaan yang kabarnya terbesar se-Asia Tenggara. Padahal, anggarannya sudah masuk di APBN 2016 senilai Rp 570 miliar. 

Suara penolakan mulai muncul begitu mengetahui penerimaan negara mengalami defisit sekitar Rp 290 triliun. Bukan saja fraksi partai pendukung pemerintah seperti Nasdem, Hanura hingga PDIP, desakan penundaan proyek juga disuarakan oleh pimpinan fraksi non pemerintah, salah satunya Gerindra.

Ketua DPR Ade Komarudin bereaksi. ia curhat tentang rencana besar itu kepada wartawan di Pressroom DPR, Rabu (30/3). Apalagi setelah dirinya membaca di banyak media mengenai polemik perpustakaan. Karenanya, politikus yang akrab disapa Akom, ingin menjelasakan dari awal tentang rencana tersebut.

"Tolong catat baik-baik. Saya itu, soal gedung dari awal ingin menunda, karena ada moratorium (gedung baru dari pemerintah), klir ya," ujar Akom, dengan mimik muka serius.

Seiring waktu sejak ia dilantik sebagai Ketua DPR pada 11 Januari 2016, datang lagi usulan dari para cendikiawan muda, bahwa DPR harus memiliki gedung perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara, meskipun tak bisa menandingi Library of Congress (LOC)-nya Amerika Serikat.

"Nah ini harus klir juga, usulan dari mereka, bukan saya yang mengundang. Karena ditulis begitu, biar lurus. Saya tidak pernah mengundang, mereka datang meminta ketemu dan kemudian memberikan usulan," tutur Akom.

Sejak adanya permintaan tersebut, ia semakin semangat memperjuangkan supaya pembangunan perpustakaan ini terwujud. Sebagai pimpinan dewan, Ketua Umum SOKSI ini punya cita-cita besar untuk kepentingan DPR dan masyarakat.

Apalagi, lanjutnya, citra DPR menurut pandangan masyarakat, termasuk wartawan, sangat tidak bagus karena beberapa peristiwa hukum. Ditambah lagi produktifitas yang rendah, membuat pria kelahiran Purwakarta 1965 ini ingin memperbaiki keadaan. 

Perbaikan dimulainya dengan melakukan efisiensi di DPR. Meski tidak mudah dan muncul pro kontrak di internal dewan. Misalnya soal pengurangan masa reses, memangkas kunjungan ke luar negeri.

"Jangan dipikir semua anggota setuju, enggak. Kunjungan ke luar negeri, banyak yang marah sama saya kok, saya nggak mau cerita saja," ungkap alumni UIN Syarif Hidayatullah itu.

Di bidang legislasi, selama tiga bulan memimpin dewan, Ade juga merasa ada perbaikan. Bila 2015 hanya melahirkan 3 produk undang-undang (UU), sejak ia dilantik hingga memasuki masa reses 18 Maret 2016 sudah bisa disetujui 6 UU. 

Dalam hal fasilitas, semangat mewujudkan Parlemen moderen juga diimbangi dengan pembangunan gedung, museum, hingga perpustakaan. Hanya saja, pasca ada moratorium dari pemerintah, rencana ini ikut tersendat. Kecuali perpustakaan yang masih diperjuangan. 

Akom sendiri menilai usulan dan ide perpustakaan itu sangat bagus. Tapi disetujui atau tidak, ia menyerahkan kepada anggota dewan. Keputusan apapun yang akan diambil menurutnya harus diputuskan bersama. Secara pribadi, suami Netty Marliza, ini kukuh mendukung ada perpustakaan di kompleks Parlemen.

"Saya kalau dipaksa untuk tidak setuju oleh teman-teman soal gagasan ini, oh saya akan lawan. Ini gagasan bagus, saya tidak bisa bilang sesuatu jelek padahal itu bagus. Boleh saya memperjuangkannya secara pribadi, harus jadi keputusan bersama oleh dewan," sebutnya.

Diakuinya, ada sejumlah pimpinan fraksi yang protes, tapi ada juga yang mendukung. Hanya saja aspirasi mereka tidak terserap oleh media. Bagaimanapun, katanya, karena berkaitan dengan pembangunan fisik, ujungnya kembali pada pemerintah dan sekretariat jenderal DPR.

Karena itu, selain dengan pimpinan fraksi, Akom mengaku harus berkoordinasi dengan Presiden Joko Widodo, tentunya mempertanyakan apakah usulan dari para cendikiawan ini akan didukung atau tidak. "Saya sudah oke, tapi kan saya legislatif, yang eksekutif pemerintah," tegasnya.
 
Meski ngotot mendukung, Akom membantah secara tegas anggapan sejumlah pihak bahwa pembangunan perpustakaan sebagai akal-akalannya sebagai ketua DPR. Sebab, usulan datang dari para cendikiawan. 

"Ini harus klir. Kenapa? Karena ada beberapa menganggap bahwa ini akal-akalan saya, itu yang tidak fair. Nggak benar sama sekali. Negara ini harus punya simbol-simbol intelektualisme," pungkasnya.(fat/jpnn)

 

 



Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News