Koko Mualaf, Menangis Peluk Ayahnya yang Seorang Pendeta

Koko Mualaf, Menangis Peluk Ayahnya yang Seorang Pendeta
MUALAF: Shantiko Hatmojo tekun mempelajari agama Islam sejak jadi mualaf lima tahun silam. Foto: TAMAMU RONY/RADAR SAMPIT/JPNN.com

Meski jatuh bangun belajar menekuni rukun iman dan rukun Islam, Koko tetap menjadikan semua rintangan itu sebagai motivasi. Sosok yang jadi penyemangat dirinya adalah sang ayah, Wartono.

Meski sang ayah adalah seorang pendeta dan pemimpin gereja, tak pernah sedikit pun dia melarang Koko memeluk agama lain. Bahkan, ayahnya itu pernah berkata untuk memelajari agama dengan sungguh-sungguh.

”Kata ayah saya, kalau tidak sungguh-sungguh menjalani agama, lebih baik balik saja (ke agama lama). Itu bukan berarti ayah saya tak setuju, tapi justru beliau memotivasi saya. Karena selanjutnya, ayah sayalah orang yang pertama kali marah ketika saya tidak salat, tidak mengaji dan tak menjalankan puasa. Orang tua saya orangnya Pancasila, alias terbuka dan tak melarang anak-anaknya punya prinsip. Asalkan jangan setengah-setengah mendalami,” tutur Koko sambil sesekali tersenyum bangga.

Usai menjalani Ramadan pertamanya, masuklah Hari Raya Idulfitri. Cuaca pagi 2013 silam, saksi bisu semangat Koko beridentitas mualaf. Orang-orang di kampungnya yang datang ke masjid memberikan selamat sekaligus nasihat untuk memperkuat imannya.

Ketika sampai waktu salat Idul Fitri, imam mengingatkan makmum merapatkan saf (barisan salat). Semua jamaah mengikuti. Gerakan takbiratul ikhram dimulai. Koko mengikuti gerakan imam.

Setelah itu terucap lagi takbiratul ikhram. Tapi Koko malah rukuk (gerakan membungkuk dalam salat).

”Saya kira salatnya sama dengan salat wajib. Ternyata beda. Takbirnya ada tujuh kalau salat Idulfitri. Tapi saya justru langsung rukuk ketika imam mengucap takbir usai membaca salah satu surat dalam Alquran. Untung makmum yang lain enggak ada yang tertawa, karena saking khusyuknya. Tapi saya, malunya luar biasa,” ceritanya sembari tertawa terbahak-bahak.

Setelah salat selesai, Koko kabur dari barisan, karena tak sanggup menahan malu. Tapi, di rumah, ia tertawa terpingkal-pingkal ketika menceritakan kejadian itu pada sahabatnya.

Koko, pangguilan Shantiko Hatmojo, seorang mualaf sejak lima tahun silam, ayahnya pendeta yang juga pemimpin salah satu gereja.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News