Komat Kamit Kobat Kabut

Komat Kamit Kobat Kabut
Komat Kamit Kobat Kabut

Saking dalam dan curamnya. Sambil menyaksikan pohon sengon (baca: albasia, red) dari atas heli yang dibudidaya warga di Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, dan Banjarnegara, Menhut Zulkifli Hasan pun berkhayal. Bagaimana bisa mendeskripsikan kesuksesan masyarakat kawasan Wonosobo dan sekitarnya itu ke luar Jawa sana? Agar mereka sadar, dan mengikuti sukses besar bercocok tanam sengon, sebagai “tanaman emas”? “Membuka kesadaran rakyat itu adalah tantangan dan pekerjaan besar.

Dan saya ingin buktikan, bahwa itu bisa dilakukan,” ucap Zulkifli penuh semangat. Mengapa disebut tanaman emas? “Satu hektare sengon, selama lima tahun, bisa menghasilkan Rp 200 juta. Padahal, lahan di Kalimantan, Sumatera, Kalimantan dan Papua, masih terbuka luas.

Wonosobo telah membuktikan, ada Haji Sengon, Sarjana Sengon, Insinyur Sengon, Dokter Sengon, karena sukses itu dibiayai oleh Sengon? Pabrik pengolahannya juga hebat, dimiliki warga asli Wonosobo juga,” sebut menhut sambil memegang bahu bos PT Mekar Abadi, Ariyadi, pria yang tidak lulus SD, tetapi memilki tiga unit pabrik playwood di Sapuran, Wonosobo dengan omzet USD 4 juta per bulan.

Menteri yang sudah menjadi pengusaha sejak lulus SMA, tahun 1983 itu mencatat banyak inspirasi dari kunjungan kerja sehari di tiga titik itu. Salah satunya upaya masyarakat mencangkok sengon, agar tetap tumbuh di lahan salak. Sengon itu harus sudah 4-5 meter tingginya, sehingga per bibit cangkok itu bisa berebut “nutrisi” dari tanah dengan akar serabut salak, dan berebut cahaya matahari dari pohon salak itu juga.

“Ini gagasan kreatif dan mandiri. Mereka berhasil memberdayakan konsep ini, sehingga sengon panen sesuai skedul, dan salak tidak berkurang produksinya. Mereka menyadari, bahwa lahan semakin sempit, karena itu setiap jengkal tanah harus termanfaatkan secara optimal.Inilah yang saya bilang, cinta tanah sama dengan cinta kepada Tuhan,” sebutnya yang didampingi Bupati Wonosobo A. Kholiq Arif, dan Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Mulhim Asyrof itu.

Saking heboh dan rasa kagumnya, Zulkifli nyaris dikepung kabut dan tak bisa balik Jogja mengejar pesawat ke Jakarta. Tak sadar, sudah pukul 16.00, pilot heli berulang-ulang melihat jam tangan, kode untuk cepat-cepat terbang, sebab sewaktu-waktu, kabut cepat turun, dan heli tak bisa terbang. Cuaca buruk, adalah musuh utama heli.

Di sepanjang jalur Wonosobo-Jogja yang ditempuh 15 menit itu, sang pilot mempertontonkan begitu banyak kabut yang cepat bergerak. Ketiga, Minggu pagi, 26 Februari kemarin, lagi-lagi saya berurusan dengan “teror kabut” di Bandar Udara Sultan Badaruddin, Palembang. GA 111 yang boarding sejak 05.40, baru bisa terbang pukul 07.15 WIB.

Kasusnya mirip, kabut pekat dan jarak pandang hanya 450 meter. Saya lantas berpikir, seharusnya di setiap bandara yang rawan teror kabut itu belajar ilmu pengendali air dari Avatar, si bocah gundul kecil yang mewarisi seni bela diri dan ahli hidrokinetik untuk mengontrol air, uap dan es itu.

SAYA baru ngeh, mengapa unsur air dimasukkan dalam empat jenis pengendali dalam film animasi Avatar, The Legend of Aang? Sekecil apapun sifat “air”

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News