Komunikasi Kematian

Oleh: Khafidlul Ulum

Komunikasi Kematian
Wartawan & Alumnus Magister Komunikasi FISIP UMJ Khafidlul Ulum. Foto: Dokumentasi pribadi

Ketika keluar IGD, tidak ada tenaga kesehatan (Nakes) yang membantu. Untung, ada seorang teman yang “pemberani”. Dia mengambil kursi roda, kemudian memapahnya naik kursi, lantas mendorongnya ke arah mobil yang terparkir di depan UGD.

Saya melihat teman saya menahan sakit di dadanya. Napasnya begitu berat. Batuk yang keluar sangat menyakitkan. Kondisinya lemas.

Si sakit dan kursi rodanya diletakkan di depan pintu mobil. Sedangkan teman “pemberani” yang menolongnya tadi kembali masuk ke IGD untuk mengambil barang yang tertinggal.

Hanya ada sopir yang berada di samping teman yang sakit. Saya berusaha mendekat dan mau membantunya masuk mobil, tetapi saya tidak bisa setelah mengingat virus yang sangat ganas.

Hati saya perih, sedih, dan tersayat. Saya merasa bersalah, karena tidak bisa memapahnya masuk mobil.

“Teman macam apa kau ini, teman lagi sakit, memapahnya saja tidak mau,” pikiran itu berkecamuk.

Ingin sekali saya membantunya, masuk mobil bersamanya dan mendampinginya mencari rumah sakit agar bisa mendapat perawatan yang memadai. Tetapi, hal itu tidak bisa saya lakukan. Berkali-kali saya meminta maaf dalam hati.

Saya pun menjauh dan menemui penjaga rumah sakit. Saya bertanya apakah ada nakes yang bisa membantu teman saya masuk ke mobil. Petugas keamanan itu hanya terdiam dan seperti orang bingung.

Pesan kematian di masa pandemi mungkin tidak pernah kita rasakan dan dengar sebelumnya. Musim pagebluk akan menjadi sejarah dan akan terus diingat bagi orang-orang yang hidup di zaman itu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News