Konstruksi Kebutuhan Hukum PERPPU KPK

Oleh: Anton Doni Dihen

Konstruksi Kebutuhan Hukum PERPPU KPK
Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 1994-1996, Anton Doni. Foto: Dokpri for JPNN.com

Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 6 mengamanatkan lima tugas KPK: koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, dan monitor. Selengkapnya: (1) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (2) Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi; (3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (4) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan (5) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Walaupun informasi mengenai pelaksanaan kelima tugas tersebut terlalu terbatas, dan laporan kompresensif dan/atau tinjauan komprehensif terhadap pelaksanaan kelima tugas tersebut mungkin saja belum ada, dapat diduga bahwa capaian dalam pelaksanaan kelima tugas tersebut masih terbatas.

Ada beberapa hal yang dapat dikatakan terkait fakta tugas dan capaian KPK. Pertama, penugasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 terhadap KPK adalah penugasan yang cukup kompleks di tengah fakta hubungan antar Lembaga yang rumit dalam budaya kita berpemerintahan. Koordinasi antar lembaga bukan hal yang mudah, dan sering kali hanya formalistik.

Lebih rumit lagi supervisi. Apalagi terhadap lembaga yang “high profile” seperti kepolisian dan kejaksaan. Tanpa rumusan kewenangan yang spesifik dan rumusan ketentuan yang agak memaksa kedua lembaga tersebut untuk kooperatif, sulit bagi KPK untuk menjalankan tugas koordinasi dan supervisi. Di sini dibutuhkan ketentuan yang mendukung penguatan posisi KPK dalam urusan koordinasi dan supervisi, yang sekaligus memaksa kepolisian dan kejaksaan untuk kooperatif dalam pelaksanaan tugas KPK tersebut.

Nyatanya, Undang-Undang KPK hasil revisi tidak menyediakan ketentuan seperti itu, dan karena itu suatu PERPPU dapat dihadirkan untuk menyediakan ketentuan yang dibutuhkan.

Kedua, pemandatan tugas pencegahan dan monitor terhadap KPK tidak harus berimplikasi pada pengertian bahwa KPK adalah lembaga yang paling diandalkan dan berada di garda terdepan dalam dalam pelaksanaannya. Jika pengertian pencegahan adalah usaha-usaha seperti pendidikan dan kampanye anti korupsi, dan pengertian monitor adalah usaha-usaha semacam pengkajian sistem adminitrasi negara yang ditindaklanjuti dengan peringatan dini, maka kedua tugas ini menyita perhatian KPK terlalu banyak. Dan harus dikatakan bahwa kedua tugas (dengan pengertian di atas) mensyaratkan DNA (core values dan core competencies) yang berbeda signifikan dengan DNA yang dibutuhkan untuk tugas penindakan.

Karena itu, kita tidak bisa mengharapkan hasil maksimal dari pelaksanaan tugas pencegahan dan monitor. Yang dapat kita harapkan adalah bagaimana KPK bisa berkoordinasi dengan lembaga terkait (kementerian dan lembaga pendidikan, serta media massa) supaya pekerjaan pendidikan dan kampanye anti korupsi bisa berjalan; dan koordinasi dengan kementerian seperti Bappenas dan RB-PAN agar tata kelola program dan anggaran tidak rawan korupsi.

Yang realistik kita harapkan dalam upaya pencegahan adalah efek pencegahan dari operasi tangkap tangan (OTT). Mestinya, OTT yang gencar dilakukan, dengan pemberitaan yang maksimal, menghadirkan efek pencegahan yang cukup. Tetapi jika efek pencegahan itu belum cukup, yang harus dipandang sebagai persoalan mestinya adalah budaya korupsi kita yang sudah terlalu parah, dan bukan upaya pencegahan oleh KPK yang masih terbatas.

Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2015 patut ditolak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News