Konstruksi Kebutuhan Hukum PERPPU KPK

Oleh: Anton Doni Dihen

Konstruksi Kebutuhan Hukum PERPPU KPK
Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 1994-1996, Anton Doni. Foto: Dokpri for JPNN.com

Ketiga, penindakan yang gencar oleh KPK, direncanakan atau tidak, dikehendaki atau tidak, mestinya sudah dengan sendirinya menjadi trigger mechanism bagi performa kejaksaan dan kepolisian. Fungsi trigger mechanism tersebut tentu berlangsung dan hasilnya tentu sangat tergantung pada sifat responsif kepolisian dan kejaksaan dalam merespon positif gelombang hentakan KPK. Sejauh mana hasilnya, tentu masih membutuhkan pengkajian lebih jauh. Tetapi mengatakannya bahwa trigger mechanism itu sudah berlangsung dengan efektif sedemikian rupa sehingga tidak dibutuhkan lagi lembaga semacam KPK untuk menghadirkan trigger mechanism adalah pernyataan dan kesimpulan yang terlalu jauh.

Dengan demikian maka dalam kaitan dengan sejumlah persoalan kinerja KPK, ada kebutuhan hukum untuk memfasilitasi berlangsungnya koordinasi dan supervisi melalui ketentuan yang lebih jelas, demikian pula ada kebutuhan hukum untuk menghadirkan rumusan ketentuan yang lebih realistik dalam mendekati tugas pencegahan dan monitor yang diamanatkan kepada KPK.

Kebutuhan-kebutuhan hukum tersebut belum dijawab dalam Undang-Undang hasil revisi, dan karena itu diperlukan adanya PERPPU yang dapat menyediakan ketentuan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan hukum seperti itu.

Persoalan Kelalaian KPK

Salah satu persoalan yang dijadikan alasan dalam revisi Undang-Undang KPK adalah kelalaian dalam melaksanakan kewajiban, terutama kewajiban menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana diamanatkan Pasal 15 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Kita bisa membayangkan bagaimana kelalaian operasional ini dapat dijadikan alasan dalam melakukan revisi Undang-Undang KPK, sementara hasil revisi yang ada pun tidak menghadirkan ketentuan untuk memberikan sanksi kepada KPK dalam kasus di mana dia melalaikan kewajibannya.

Sebenarnya persoalan operasional seperti ini dapat dijawab dengan tekanan, atau permintaan, atau sanksi, atau peringatan yang diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pemberian sanksi yang merupakan keputusan politik dan disampaikan ke publik sesungguhnya sudah dapat memberikan tekanan moral yang cukup bagi KPK untuk mengoreksi kelalaian ini.

Jika sanksi yang dapat diberikan melalui keputusan politik merupakan sesuatu yang tidak pasti, maka dapat dikatakan bahwa di sana ada kebutuhan hukum yang dapat dijawab melalui PERPPU untuk menghadirkan ketentuan mengenai sanksi yang dapat diberikan jikalau KPK mengabaikan kewajiban menyampaikan laporan tahunan kepada Presiden, DPR, dan BPK.

Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2015 patut ditolak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News