Kritik Draf RUU Kesehatan, Pakar: BPJS Seharusnya Diatur Dalam Satu Undang-Undang

Kritik Draf RUU Kesehatan, Pakar: BPJS Seharusnya Diatur Dalam Satu Undang-Undang
RUU Kesehatan tidak memenuhi syarat keterhubungan untuk disatukan ke dalam undang-undang, karena memiliki materi muatan yang terlalu luas dan tidak serumpun. Foto/Ilustasi: BPJS Kesehatan.

jpnn.com, JAKARTA - Indonesia Center for Legislative Drafting (ICLD) mengkritik Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.

ICLD menyebutkan masing-masing Undang-Undang BPJS dan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) harus diatur dalam satu undang-undang tersendiri, bukan malah digabung dalam omnibus law RUU Kesehatan.

Hal itu diungkapkan langsung oleh Direktur ICLD sekaligus pakar perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fitriani Ahlan Sjarif.

Dia mengatakan, RUU Kesehatan tidak memenuhi syarat keterhubungan untuk disatukan ke dalam undang-undang, karena memiliki materi muatan yang terlalu luas dan tidak serumpun.

“Harus ada argumentasi keterhubungan dan relevansinya antara satu undang-undang dengan yang lain sebelum digabungkan dalam RUU. Judul dan perubahan parsial omnibus law menimbulkan kebingungan pengaturan karena tidak sesuai dengan isinya," kata dia, Senin (3/4).

Dia menambahkan RUU Kesehatan dikatakan akan bicara soal kesehatan, tetapi ternyata ruang lingkupnya mencabut 9 undang-undang, bahkan mengubah 4 undang-undang yang bukan termasuk lingkup kesehatan, yaitu sistem pendidikan tinggi, BPJS, SJSN, dan sistem pendidikan nasional.

"Tentu akan yang bentrok azas-azasnya,” jelasnya.

Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh RUU Kesehatan (Omnibus Law), regulasi tersebut bisa menguatkan kedudukan Kementerian Kesehatan dan menjadikan BPJS seakan lembaga subordinatif.

RUU Kesehatan tidak memenuhi syarat keterhubungan untuk disatukan ke dalam undang-undang, karena memiliki materi muatan yang terlalu luas dan tidak serumpun.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News