Kurang Semriwing, Didi Kempot Tak Bisa Nyanyikan Stasiun Balapan

Kurang Semriwing, Didi Kempot Tak Bisa Nyanyikan Stasiun Balapan
Pruduction Manager PT IMC Duta Record Hadi Pranoto di ruang kerjanya. Foto: Dody Bayu Prasetyo/Jawa Pos

Album tersebut diedarkan dalam bentuk kaset. Hasilnya, gagal total. Nongkrong di rak album pop-jazz di toko-toko kaset, bukan di rak album tradisional seperti kaset Didi Kempot, album Bossanova Jawa I sama sekali tidak laku di pasar. ”Dulu isi pitanya sampai saya hapus dan saya isi suara (kicauan) burung, lantas saya jual lagi. Sama sekali gak laku,” cetus Hadi.

Meski demikian, mereka tak kapok. Selain pasar yang tidak siap menerima lagu berbahasa Jawa dinyanyikan dengan musik yang kurang easy listening, IMC menilai album pertama yang sepenuhnya direkam secara terprogram itu kurang cocok karena tidak betul-betul menerapkan pakem bossas.

Karena itu, pada album Bossanova Jawa II, mereka memasukkan permainan alat musik yang direkam dalam permainan live. Maka, aspek improvisasi yang khas dalam permainan jazz lebih terasa kental. Selain itu, aspek permainan alat musik menjadi perhatian utama. Misalnya, petikan gitar bersenar nilon benar-benar dilakukan dengan jari, bukan dengan plectrum (segi tiga plastik yang berfungsi menggantikan fungsi kuku saat memetik dawai gitar).

Karena ketika itu alat pemutar musik digital mulai marak, IMC juga tidak lagi merekam album menggunakan media cassette recorder, melainkan compact disk (CD). Mereka juga mulai mengontrak Dian Kusuma untuk mengisi vokal. Suara alto Dian yang soft cocok untuk menyanyikan lagu Jawa yang diiringi musik jazz. Meski demikian, Hadi mengaku masih kerap meminta Dian menurunkan intonasi suaranya setengah nada agar timbul suara desahan. ”Orang kalau dengar desahannya jadi semriwing,” ujarnya.

Selain kecocokan jenis suara, penyanyi album Bossanova Jawa dituntut untuk dapat menyanyikan lagu Jawa dengan bahasa Jawa yang medok seperti alunan langgam aslinya. Hasilnya, sukses! Seribu keping CD berhasil dijual ketika itu. Itu berarti hampir seluruh jumlah CD yang digandakan dan diedarkan. ”Kesuksesan album kedua membuat banyak orang memburu album jilid satu dan album-album berikutnya,” ungkap Hadi.

Untuk menghasilkan satu lagu bossas campur Jawa, Hadi menyatakan bahwa rumah produksinya hanya cukup membutuhkan waktu satu hari. Namun, untuk dapat menciptakan satu buah album bossas yang berisi sepuluh buah lagu, dia mengatakan butuh waktu tiga bulan untuk menyelesaikannya. ”Tidak bisa sepuluh hari. Karena tes suara untuk penyanyinya saja sekitar dua minggu, belum lagi tes gitaris, saksofon, dan aransemen suaranya,” paparnya.

Meskipun diproduksi di Semarang, Hadi mengatakan, album-album bossas justru laku keras di Jakarta. ”Peminatnya banyak dari Jakarta, lalu sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kalau di Semarang sendiri malah tidak begitu laku,” kata Hadi.

Hal tersebut, menurut analisisnya, disebabkan warga ibu kota, terutama kalangan menengah atas, memiliki selera yang tinggi terhadap musik jazz. Selain itu, apresiasi warga Jakarta terhadap CD album orisinal masih tinggi.

Meredupnya musik dengan lirik berbahasa Jawa setelah era campursari dan keroncong dangdut membuat penggiat musik tradisional ini kelabakan. Musik

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News