Lima Alasan Kenapa RUU Omnibus Law Perlu Ditarik

Lima Alasan Kenapa RUU Omnibus Law Perlu Ditarik
Fadli Zon. Foto: Fathan Sinaga/JPNN.com

Secara kuantitatif, kata dia, RUU inisiatif DPR terlihat seolah bersifat mayoritas. Namun, jika dilihat secara kualitatif, satu Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang diusulkan oleh pemerintah akan mengubah sekitar 79 UU yang sudah ada.

"Jumlah undang-undang yang hendak diubah omnibus law ini terlalu banyak, sehingga menurut saya bersifat problematis dari sisi norma pembagian kekuasaan. Apalagi, ini bukan satu-satunya omnibus law yang diusulkan Pemerintah. Bayangkan, ada berapa banyak UU yang dikendalikan langsung oleh presiden nantinya," kata dia.

Kedua, lanjut dia, ada ketidaksinkronan antara persoalan yang didiagnosis oleh omnibus law dengan resep yang disusunnya. RUU ini dirancang sebagai solusi terhadap masalah ekonomi, pengangguran, dan investasi, namun resep-resep yang disusunnya justru bersifat kontraproduktif, bahkan cenderung destruktif bagi perekonomian.

Di satu sisi RUU ini ingin menciptakan lapangan kerja, namun isinya justru melemahkan dan cenderung mengabaikan hak-hak kaum pekerja. Meski bisa menciptakan kepastian hukum bagi investasi, namun isinya justru bisa membuat ketidakpastian stabilitas sosial-politik, mengingat luasnya penolakan atas RUU ini. "Ujungnya, saya melihat hal ini hanya akan kian menjauhkan investasi dari Indonesia, seiring meningkatnya political risk di negeri kita," kata ketua BKSAP itu.

Menurut dia, dari draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang ada, pendapatan kaum buruh nantinya jelas terancam berada di bawah upah minimum, sehingga akan membuat konsumsi rumah tangga di Indonesia semakin tertekan.

Padahal, lanjut Fadli, dalam struktur ekonomi Indonesia, konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi, di mana bobotnya mencapai 56,6 persen.

Bagi investor, hal ini jelas akan menjadi catatan negatif yang signifikan atas beleid omnibus law. Pertama, potensi ketegangan di Indonesia potensial meningkat, akibat luasnya penolakan dan polemik. Kedua, tingkat konsumsi di Indonesia potensial kian tertekan di masa mendatang. "Logikanya, apa guna mereka berinvestasi di Indonesia, jika ketidakpastian sosial politiknya meningkat dan daya beli konsumen menurun?" paparnya.

Fadli menegaskan inilah yang disebutnya sebagai triple kesalahan pemerintah. "Mereka telah salah baca situasi, salah diagnosis, dan salah menyusun resep sekaligus," tegasnya.

Menurut anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon, konsep draf yang diajukan pemerintah banyak yang tak masuk akal.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News