Lokalisasi Kian Sepi, Makin Sulit Cuci Mata

Lokalisasi Kian Sepi, Makin Sulit Cuci Mata
TENAGA BARU : Dari kiri, Supadi, Suyono, dan Cahyo kini mengabdi sebagai pegawai di lingkungan Pemkot Surabaya. Foto: Anggit Satriyo/Jawa Pos

Sembari bekerja sebagai juru gambar di dinas cipta karya dan tata ruang (DCKTR), Cahyo masih bisa berkuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA). ”Keahlian saya menggambar karena dulu saya lulusan SMK jurusan bangunan. Jadi, mengoperasikan auto cad adalah hal biasa,” katanya.

Dia mengungkapkan, kini di pemkot dirinya mendapat banyak order pekerjaan dari atasannya. Yakni, menggambar denah bangunan. Cahyo yang mendesain agar bangunan tidak melanggar sempadan jalan.

Sebelumnya, ketika lokalisasi beroperasi, Cahyo adalah petugas administrasi di kantor RW. Menurut dia, RW-nya paling mendukung penutupan lokalisasi.

Salah satu buktinya, ketika iuran bulanan setiap wisma Rp 30 ribu, RW tempatnya bekerja menuntut lebih tinggi, yakni Rp 350 ribu. ”Tujuannya, wisma keberatan dan berpikir ulang dengan bisnisnya,” ungkap Cahyo.

Baik Supadi, Suyono, maupun Cahyo sama-sama memiliki harapan, yakni konsistensi pemkot setelah menutup Dolly.

Pemkot harus mewujudkan janji-janji sebelumnya, termasuk membangun fasilitas-fasilitas infrastruktur. Bila warga sudah berniat mengubah jalan hidupnya, pemkot juga harus bahu-membahu membantunya. Tidak mendiamkan. (*/c6/dos)

 


PULUHAN warga di sekitar kawasan lokalisasi Dolly kini menyongsong kehidupan baru. Tidak lagi bergantung pada ingar-bingar prostitusi, kini mereka


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News