Luhut dan OTT
Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Mahfud mengatakan, tak ada yang salah dengan ucapan Luhut. Daripada selalu dikagetkan oleh OTT, lebih baik dibuat digitalisasi dalam pemerintahan agar tidak ada celah korupsi.
Kalau di antara wakil presiden dan dua menteri koordinator saja beda pendapat, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi di Indonesia punya arah dan haluan yang jelas.
Presiden Joko Widodo sulit diharapkan bisa menengahi persilangan pendapat di antara anak buahnya seperti ini. Alih-alih, Jokowi lebih suka menghindar dan menghilang.
Korupsi di Indonesia terjadi karena pengaruh budaya yang melekat.
Banyak pejabat yang tidak bisa membedakan kepentingan pribadi dengan kepentingan negara.
Pesta mantu Presiden Jokowi ketika menikahkan anak ragilnya, Kaesang Pangarep, menjadi salah satu contoh betapa kaburnya batas itu dalam budaya Jawa.
Sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi dari Jokowi terhadap kritik mengenai penerapan keamanan ketat yang melibatkan lebih dari 10.000 personel dari TNI, Polri, dan ASN.
Selain itu, pencetakan uang mahar dengan seri khusus oleh BI (Bank Indonesia) juga disorot, karena dianggap membahayakan keamanan pencetakan uang negara. Jokowi, seperti biasanya, diam seribu bahasa.
Luhut pun meminta KPK tidak terlalu sering melakukan OTT. Sehari kemudian pernyataan Luhut dimentahkan oleh Wakil Presiden K.H Ma’ruf Amin.
- Hasil Semifinal Sudirman Cup 2025: China Mengerikan, Jepang Hancur
- Prabowo Percaya Hakim Bergaji Besar Tidak Bisa Disogok
- KPK Periksa Mantan Direktur LPEI Terkait Kasus Korupsi Fasilitas Kredit
- Dukung RUU Perampasan Aset, Prabowo Sentil Koruptor: Enak Saja Sudah Nyolong...
- Yunus Wonda Diminta Bertanggung Jawab di Kasus PON XX Papua
- MUI Dukung Kejagung Membongkar Habis Mafia Peradilan