Malari Membakar Jakarta, Antara Persaingan Elite Tentara dan Sentimen Anti-Tionghoa

Malari Membakar Jakarta, Antara Persaingan Elite Tentara dan Sentimen Anti-Tionghoa
Massa memadati salah satu ruas jalan di Jakarta Pusat pada saat peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Foto: Antara

Meski Malari pecah pada 15 Januari 1974, indikasi ke arah malapetaka itu sudah muncul jauh-jauh hari sebelumnya.

Awalnya, para mahasiswa yang menjadikan kampus Universitas Indonesia (UI) di Salemba, Jakarta Pusat, sebagai pusat gerakan, mencetuskan Petisi 24 Oktober 1973.

Petisi itu berisi empat tuntutan. Poin pertama petisi itu ialah meninjau kembali strategi demi menciptakan keseimbangan di bidang politik, sosial, dan ekonomi.

Kedua, membebaskan rakyat dari ketidakpastian hukum, korupsi, dan penyelewengan kekuasaan. Ketiga, refungsionalisasi lembaga-lembaga penyalur pendapat rakyat.

Kempat, penentuan masa depan adalah hak dan kewajiban generasi muda.

Petisi itu juga berangkat dari dari sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru yang memanjakan modal asing. Saat itu Jepang mendominasi investasi di Indonesia.

Suara kritis mahasiswa itu menemukan momentumnya ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung Jakarta pada medio Januari 1974.

Politikus Partai Demokrat Liberal (LDP) Jepang itu tiba di Jakarta pada 14 Januari 1974 saat hari sudah malam.

Situasi Jakarta pada 15 Januari 1974 sangat kacau. PM Jepang Kakuei Tanaka yang sedang mengunjungi Jakarta sampai meninggalkan Istana Merdeka dengan helikopter.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News