Malioboro & Baca Al-Qur'an

Malioboro & Baca Al-Qur'an
Suasana Malioboro di Yogyakarta. Foto: arsip JPNN.com/M Sukron Fitriansyah

Atraksi ini menjadi viral di media sosial karena unik. Namun, reaksi netizen, seperti biasanya, bermacam-macam. Ada yang tidak suka karena menganggapnya ria  alias pamer. Ada yang tidak suka karena melihatnya sebagai upaya unjuk kekuatan atau show of force.

Namun, tentu saja, banyak juga yang mengapresiasi atraksi itu karena membaca Al-Qur'an boleh dilakukan di mana pun asal tempatnya bersih dan suci. Pertunjukan baca Al-Qur'an massal bisa menjadi motivasi bagi orang lain untuk aktif membacanya, apalagi minat baca masyarakat Indonesia secara keseluruhan masih sangat rendah.

Namanya juga netizen, komentarnya bisa serius, bisa juga asal bicara. Akan tetapi, komentar serius terhadap atraksi itu muncul dari Rektor UIN Yogyarakta Prof. Al Makin. Dia tidak suka dengan atraksi itu dan menganggapnya menjarah ruang publik.

Ruang publik seperti Malioboro tidak seharusnya dipakai untuk memamerkan ekspresi keagamaan. Prof Al Makin malah mengusulkan supaya pemerintah meregulasi ruang publik supaya tidak sembarangan dipakai untuk ekspresi keagamaan.

Di mana pun, yang namanya ruang publik atau public sphere adalah ruang yang terbuka untuk masyarakat. Bisa dipakai untuk apa saja, asal tidak melanggar aturan formal.

Malioboro adalah ruang publik yang terbuka untuk aktivitas apa saja. Menari, menyanyi, membaca puisi, atau ekspresi lainnya.

Membaca Al-Qur'an massal tidak diatur dalam agama. Namun, tradisi membaca Al-Qur'an massal menjadi budaya dan bagian dari syiar Islam.

Masyarakat Jawa mempunyai tradisi menyadran dan megengan menjelang Ramadan dengan mengunjungi makam orang tua atau leluhur. Tradisi itu merupakan pengaruh dari Hindu yang terus lestari sampai sekarang di beberapa daerah.

Negara punya banyak urusan yang lebih urgen daripada sekadar mengatur TOA masjid dan orang baca Al-Qur'an di tempat umum.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News