Mao Muda

Oleh: Dahlan Iskan

Mao Muda
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Kali pertama saya ke Wuhan masih di tahun 2000-an. Yakni untuk memastikan apakah remaja Wuhan bernama Zheng Cheng bisa menjadi kiper Persebaya. Waktu itu Wuhan masih kumuh. Padat. Semrawut. Berdebu.

Dulu Wuhan juga sering banjir. Terutama sebelum dibangunnya dam Lembah Tiga Ngarai.

Saya pernah naik bus, dari Wuhan ke bendungan itu. Sembilan jam. Belum ada jalan tol. Belum ada kereta cepat. Jalan pun masih sempit dan banyak lubang.

Kiper Zheng Cheng lantas setahun bergabung di Persebaya. Lalu berkembang menjadi kiper terkemuka di negaranya. Ia pun menjadi kiper tim nasional Tiongkok. Bintangnya bersinar sangat lama sebagai kiper nasional.

Dari Wuhan saya ke Changsha. Kota kelahiran pemimpin besar revolusi Tiongkok, Mao Zedong. Changsha ibu kota provinsi Hunan. ''Nan'' berarti selatan.

Changsha juga melahirkan Prof Yuan Longping, si penemu padi hibrida. Ia dianggap sosok yang menyelamatkan ratusan juta rakyat Tiongkok dari kelaparan.

Ia beberapa kali diusulkan sebagai calon pemenang hadiah nobel. Tetapi usul itu belum pernah terwujud. "Kalau saja Yuan kulit putih..." begitulah ungkapan kejengkelan di Tiongkok.

Di Changsha saya tidak akan bisa bertemu Prof Yuan. Ia sudah meninggal beberapa tahun lalu.

SAYA putuskan: ke Wuhan. Malam itu juga, saya minta diantar ke pasar Covid-19 itu. Besoknya saya sudah harus ke kota Changsha.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News