Maraton Pilpres

Dahlan Iskan

Maraton Pilpres
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - ANDA sudah hafal cerita ini. Banyak ditulis di medsos. Juga diajarkan di sekolah-sekolah etika. Di pengajian. Di penginjilan. Yakni soal pelari maraton atau pembalap sepeda.

Pelari dari Afrika selalu di depan. Jauh. Meninggalkan pelari negara-negara lain. Pun yang di urutan nomor dua: jauh tertinggal di belakang si Afrika.

Mungkin karena kelelahan si pelari Afrika mengira sudah sampai garis finish. Dia berhenti berlari. Duduk. Lalu rebahan. Gemuruh tepuk tangan dia kira merayakannya sebagai juara.

Ketika pelari urutan kedua mendekati finish dia juga berhenti. Dia raih tangan pelari Afrika. Agar bangkit. Berlari lari. Tinggal beberapa langkah lagi mencapai finish. Maka si Afrika tetap jadi juara. Yang di urutan kedua tetap runner-up –meski kesempatan menjadi juara begitu besarnya.

"Mengapa Anda lakukan itu?" tanya wartawan ke yang runner-up. "Saya sudah melakukan yang terbaik," jawabnya.

"Kenapa Anda tidak mau jadi juara?" tanya wartawan lagi.

Baca Juga:

"Untuk apa? Dia-lah yang memang layak jadi juara. Bukan saya," jawabnya lagi.

Banyak versi cerita mirip itu. Anda pun bisa membuat versi Anda sendiri. Intinya: etika harus dijunjung tinggi. Sportivitas harus diutamakan. Juga harus dibiasakan. Bahkan diajarkan secara turun-temurun.

Sial kita saja: kalau semua pelanggaran etika dan hukum itu mereka lakukan ternyata kepentingan umumnya tetap nol. Kemajuan bangsanya tidak nyata.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News