Matahari Tak Bertanya Kepadamu

Matahari Tak Bertanya Kepadamu
Matahari Tak Bertanya Kepadamu
Kita ingat orang-orang Petisi 50 bahkan mati hak-hak keperdataannya, seperti Ali Sadikin dan kawan-kawan. Warga Kedungombo diusir dari tanah mereka karena sebuah waduk besar akan dibangun, sementara "ganti untung" mereka belum jelas. Sinar Harapan dan Tempo pernah dibredel. Partai hanya boleh tiga, sehingga PPP bahkan lebih "Golkar" dibanding Golkar.

Memang, mahasiswa merayakan tumbangnya Orde Baru pada 1998. Tetapi, lagi-lagi kita kembali gandrung berpolitik. Gus Dur disokong menjadi presiden, kemudian dijatuhkan. Megawati naik, lalu Yudhoyono, tetapi keranjingan berpolitik selalu mencemaskan.

Untuk siapa sebenarnya mereka berpolitik? Untuk rakyat, yang katanya, dibela atau semata demi kekuasaan, baik bagi yang belum dan sudah berkuasa?

Anehnya, kaum miskin dan pengangguran tetap mencemaskan sejak era BJ Habibie hingga Yudhoyono. Program "beras miskin" dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) entah kapan berakhir, dengan pengertian orang-orang lemah itu telah berhasil naik kelas alias diberdayakan. Melestarikan mereka bukannya kebaikbudian, tetapi kegagalan.

MATAHARI tidak pernah bertanya kepadamu kapan ia terbit dan tenggelam. Tiba-tiba sekarang sudah 2010, padahal sorak-sorai kampanye Pemilu 2009 rasanya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News