Matinya Demokrasi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Matinya Demokrasi
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Di sebuah hutan seekor kuda berkelahi dengan rusa jantan. Si kuda terdesak dan kalah. Lewatlah seorang pemburu, dan si kuda meminta pertolongan kepada pemburu untuk bisa mengalahkan rusa jantan.

Pemburu bersedia membantu kuda dengan berbagai syarat. Pemburu memasang sepatu besi di kaki kuda, memasang tali kekang di hidung kuda, dan memasang pelana di punggung kuda untuk dinaiki dan dikendalikan oleh pemburu. Dengan semua peralatan itu si kuda dengan bantuan pemburu bisa mengalahkan rusa jantan.

Selesai pertarungan kuda meminta pemburu untuk melepas semua yang telah dipasang di tubuhnya. Namun, si pemburu tersenyum menyeringai dan mengatakan, ‘’Wow, tidak bisa semudah itu, kawan. Aku sudah memacumu dalam kendaliku, dan aku sudah memutuskan untuk tetap memperlakukanmu seperti itu’’.

Sang kuda yang sudah terjebak oleh tipu daya pemburu hanya bisa diam, tertunduk, dan menyesali kebodohannya.

Kalau saja dia mau berpikir lebih panjang dan bekerja sedikit lebih keras, dia akan bisa mengalahkan rusa jantan.

Namun, kuda tertipu dan teperdaya oleh si pemburu dan akhirnya terperangkap seumur hidup.

Cerita fabel itu dikutip oleh dua ilmuwan Harvard, Prof Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam buku ‘’How Democracies Die’’ (2018).

Beberapa waktu yang lalu buku itu viral di Indonesia karena Gubernur DKI Anies Baswedan mengunggah fotonya di media sosial sedang membaca buku itu sambil bersantai mengenakan sarung. Publik bertanya-tanya apa isi buku itu. Dan dalam waktu singkat buku itu menjadi best seller di Indonesia.

Penolakan dan komitmen yang lemah terhadap aturan demokrasi ini menjadi indikator utama matinya demokrasi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News