Menelusuri Perjuangan Petani Indonesia demi Secangkir Kopi Warga Australia

"Orang di Gayo tidak punya pekerjaan lain. Kalau [jadi] pegawai negara pun, tetap punya kebun kopi, karena mudah dikerjakan dan tanahnya subur."

Penelitian dari 'The Climate Institute' di tahun 2015 menemukan kondisi kesehatan lahan perkebunan kopi di seluruh dunia menurun pesat akibat perubahan iklim dan berdampak pada petani kopi.
Sri yang sudah tidak asing dengan kelangsungan hidup petani dan perkebunan kopi Gayo mengatakan penemuan ini benar adanya.
"Iya, udara semakin panas. Kami beruntung saja karena lokasi rumah saya di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut dan sejak 10-12 tahun lalu sudah melakukan konservasi," kata dia.
Sri sudah menanam beberapa pohon seperti sengon, alpukat, dan lamturo di perkebunan kopi miliknya, sehingga ia mengaku tak terpengaruh pada perubahan iklim.
Sayangnya tidak semua petani kopi memiliki kesadaran atau pengetahuan yang sama, sehingga harus menanggung risikonya.
"Saat ini, semua sudah menjadi lebih sulit. Contohnya, masalah air. Sudah mulai kekeringan, kopi mulai tidak subur, panen lebih jelek ... ada ulat, hama yang tidak pernah kita tahu ada," kata dia.
Biji kopi asal Indonesia sudah dijual dan dihidangkan menjadi secangkir espresso atau cappucino di banyak negara, termasuk di kota Melbourne yang terkenal akan budaya 'ngopi'-nya
- Apa Arti Kemenangan Partai Buruh di Pemilu Australia Bagi Diaspora Indonesia?
- Dunia Hari Ini: Presiden Prabowo Ucapkan Selamat Atas Terpilihnya Lagi Anthony Albanese
- Partai Buruh Menang Pemilu Australia, Anthony Albanese Tetap Jadi PM
- Stok Bulog Selama 4 Bulan Capai 3,5 Juta Ton, Terbesar Sejak Indonesia Merdeka
- Korea Selatan dan Australia Ramaikan Semarang Night Carnival 2025
- Gegara Rekor Inflasi Rendah, Pemerintah Klaim Swasembasa Pangan Bakal Sukses