Mengapa Kursi Itu Panas Membara?

Oleh Dahlan Iskan

Mengapa Kursi Itu Panas Membara?
Mengapa Kursi Itu Panas Membara?

Jelas: menuntut. Sangat. Amat sangat. Ngotot. Mengancam. Tidak hanya itu. Jepang juga mengancam ke arbitrase. Bukan. Bukan hanya mengancam. Tapi sudah melakukannya.

Pak Hidayat, menteri industri saat itu, berjuang habis-habisan. Bersama timnya. Berhasil.

Untuk FI, sebenarnya bisa lebih pasti. Perpanjangan dalam pengertian seperti kontrak lama sudah pasti tidak mungkin. Dalam UU kita yang baru, tidak dikenal lagi binatang bernama KK (kontrak karya). Ke depan yang dikenal hanya dua: izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Juntrungannya begini: (1) Seluruh KK Freeport berakhir sesuai dengan kontraknya. (2) Wilayah bekas KK tersebut berubah status menjadi ’’wilayah pencadangan nasional’’ (WPN). (3) Pemerintah bisa mengeluarkan izin khusus (IUPK) tanpa harus tender, tapi maksimum 50.000 hektare di wilayah WPN.

Maka, kalaupun Freeport minta izin perpanjangan, maksudnya adalah minta IUPK. Untuk 50.000 hektare. Mungkin sudah mengincar di wilayah terbaik dari areal yang sekarang dimilikinya.

Masalahnya, sampai sekarang belum ada aturan yang memerincinya. Misalnya: siapa yang boleh mengajukan IUPK. Siapa yang akan diberi. Apa saja persyaratan untuk memenangkan perebutan itu. Dan seterusnya.

Menurut UU, menteri ESDM-lah yang berwenang mengeluarkan aturan itu. Maka betapa panas kursinya. (*)


BOLEHKAH kita membandingkan Freeport Indonesia (FI) dengan Blok Mahakam dan Asahan? Saya hanya tahu Asahan. Agak banyak. Soal berakhirnya kontrak


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News