Menghentikan Ekses Pilkada Langsung

Menghentikan Ekses Pilkada Langsung
Bambang Soesatyo. Foto: DPR

Maka, wajar jika berbagai elemen masyarakat mulai apatis terhadap Pilkada langsung. Hal ini setidaknya tercermin dari rendahnya partisipasi pemilih di banyak Pilkada langsung. Menyikapi apatisme masyarakat itu, negara harus menanggapinya dengan sangat serius dan sungguh-sungguh. Harus ada keberanian dan kemauan moral untuk segera menghentikan ekses Pilkada langsung itu. Tujuannya, untuk menguatkan keyakinan masyarakat terhadap demokrasi. Selain inisiatif dari pemerintah dan DPR, konsep atau proposal dari institusi penyelenggara dan pengawas pemilihan umum pun tak kalah pentingnya.

Utamakan Kompetensi

Esensi demokrasi adalah sarana untuk merepons aspirasi rakyat. Untuk itulah Pilkada yang ideal adalah secara langsung. Kepada calon pemilih, peserta Pilkada berkomitmen untuk memrioritaskan ragam kebutuhan warga. Namun, untuk mencapai tujuan strategis sebuah daerah, kepala daerah dan jajarannya tidak bisa bekerja sendiri, melainkan butuh partisipasi dari warga. Maka, seorang kepala daerah tidak hanya berperan sebagai administrator dan manajer yang paham mengelola dan mengendalikan organisasi birolrasi pemerintahan. Seorang kepala daerah pun harus mampu menjadi penggerak atau inisiator untuk menggerakan partisipasi warga dalam membangun daerah .

Sebagai administrator dan manajer, akan sangat ideal jika calon kepala daerah punya rekam jejak atau riwayat karier dalam birokrasi pemerintah daerah. Dan, sebagai inisiator atau penggerak partisipasi warga, kepala daerah harus tahu apa yang paling dibutuhkan daerahnya, dan dengan strategi seperti apa sehingga dia bisa mendapatkan partisipasi warga. Akan sangat baik jika kepala daerah dan warga saling kenal dan komunikatif.

Kualifikasi pemimpin yang administrator dan inisiator tentu saja tidak bisa dicapai dengan cara instan. Pun tak bisa dibeli dengan uang. Kualifikasi pemimpin seperti lazimnya dipersiapkan secara berjenjang melalui proses pematangan yang tidak sebentar. Faktor-faktor inilah yang belum ada dalam sistem dan pola rekrutmen calon kepala daerah; yakni calon kepala daerah tidak dipersiapkan, dan tidak dibebani persyaratan kompetensi sebagaimana lazimnya.

Satu-satunya syarat yang harus dipenuhi adalah memenangkan Pilkada langsung. Hanya ini syarat calon kepala daerah sebagai ditetapkan dalam Undang-undang (UU) No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). UU ini belum memasukan syarat kompentensi dan integritas.

Karena faktor kompetensi tidak diutamakan, banyak kepala daerah pada awal pemerintahannya gagap. Dia menjadi orang asing dalam birokrasi pemerintah daerah dan tidak paham proses pengambilan keputusan. Dia tidak tahu cara mengendalika dan mengawasi ratusa satuan kerja. Pun tidak mampu berbuat ekstra ketika dihadapkan pada ribuan pos anggaran dalam APBD yang wajib dipahaminya. Gagapnya seorang kepala daerah yang baru bisa diprediksi publik karena latarbelakangnya. Cerita seperti ini bertebaran di banyak daerah.

Di masa lalu, calon pemimpin atau pejabat publik biasanya dipersiapkan melalui Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional). Tahun-tahun terakhir ini, sejumlah jabatan publik yang strategis harus melalui tahapan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR. Jabatan kepala daerah tentu saja sangat strategis. Mengapa para calon kepala daerah tidak melalui tahapan-tahapan seperti itu?

Ekses Pilkada langsung saat ini tak hanya dicerminkan oleh jumlah kepala daerah yang jadi tahanan KPK tapi bisa juga dilihat pada kegagalan sejumlah DOB.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News