Menilik Kebijakan Utang

Oleh: MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI

Menilik Kebijakan Utang
Ketua Badan Anggaran DPR RI sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian, MH. Said Abdullah. Foto: Humas DPR RI

Bulan lalu saya sudah mendengar bahwa pemerintah telah menerima kucuran pinjaman dari Bank Dunia sebesar 300 juta USD setara Rp 4,5 triliun untuk sektor keuangan. Semoga pinjaman itu tidak disertai berbagai syarat yang mengatur-atur kebijakan negara yang berdaulat.

Mitigasi Utang

Data Kementerian Keuangan pada Februari 2020 utang pemerintah naik. Utang pemerintah naik Rp 130,63 triliun atau menjadi Rp 4.948,18 triliun per Februari 2020 dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp 4.817,55 triliun atau setara 30,4 persen PDB.

Sesuai ketentuan Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, ketentuan maksimal utang pemerintah sebesar 60 persen dari PDB. Maka, kondisi terkini, rasio utang pemerintah masih pada level aman jika semata melihat pertimbangan kuantitas.

Jika dibandingkan dengan negara negara di ASEAN, rasio utang Indonesia relatif lebih rendah. Pada tahun 2018, rasio utang Malaysia terhadap PDB nya sebesar 55,6 persen, Singapura 113,6 persen, Filipina sebesar 38,9 persen, negara negara emerging market dan developing economies rata rata 50,6 persen dan negara ekonomi maju rata rata sebesar 102 persen.

Akibat kebutuhan pembiayaan utang pada tahun 2020, pemerintah setidaknya harus memperoleh dari penjualan SBN sebesar  Rp 436,8 triliun, dengan asumsi program non utang mendapat alokasi Rp 108,9 triliun.

Jikalaupun memakai skenario pemerintah yang akan menargetkan hasil dari utang mendapatkan dana sebesar Rp 654,5 triliun, maka sepanjang tahun 2020 utang kita akan naik menjadi Rp 5.526,05 triliun, dengan asumsi data utang per Januari 2020 atau setara 34,97 persen PDB.

Tingginya target penambahan utang oleh pemerintah tidak mudah untuk dijalankan. Dalam situasi ekonomi slowing down pemerintah harus memperhitungkan daya serap pasar, khususnya pasar keuangan dalam negeri.

Pengalaman berurusan dengan IMF menjadi pil pahit bagi Indonesia, harganya sangat mahal. Hingga kini kita masih mengangsur Surat Utang melalui BLBI sebesar Rp 70 triliun.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News