Menjaga Asa demi DPR yang Kontributif dan Produktif

Oleh Bambang Soesatyo

Menjaga Asa demi DPR yang Kontributif dan Produktif
Logo Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Foto/ilustrasi: dokumen JPNN.Com

Dari kecenderungan itulah lahir persepsi negatif terhadap DPR. Jangan lupa bahwa persepsi negatif sudah terbentuk puluhan tahun. Di masa lalu, ketika parlemen ‘dipaksa’ menerapkan demokrasi terpimpin, DPR sering diolok-olok dengan lima kata berhuruf awal D (5D), yakni datang, duduk, diam, dengar, duit.

Memasuki era reformasi sekarang, DPR dituding sebagai salah satu institusi korup. Hasil survei oleh Global Corruption Barometer (GCB) yang disusun Transparency International pernah menyimpulkan bahwa masyarakat sudah menilai DPR sebagai lembaga negara paling korup. Survei GCB yang dilaksanakan pada periode April - Juni 2016 di 31 provinsi itu dipublikasikan pada pekan pertama Maret 2017.

Ketika masyarakat menghujani DPR dengan kritik dan kecaman, itu pertanda bahwa masyarakat masih sangat peduli pada DPR. Masyarakat masih berkeyakinan bahwa jika berkeinginan kuat, DPR bisa menjadi institusi negara yang kontributif dan produktif. Kinerja yang mumpuni bisa diwujudkan jika DPR berani melakukan perubahan dan pembaruan, sebagaimana perubahan dan pembaruan yang coba terus dilakukan oleh pemerintah pusat, sejumlah institusi negara dan sejumlah pemerintah daerah.

Progres perubahan dan pembaruan yang diupayakan pemerintah pusat setidaknya bisa dilihat dari tingkat kepuasan publik atas kinerja tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla. Hasil survei oleh sejumlah lembaga memperlihatkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah terbilang tinggi, mendekati angka 70 persen (hasil survei SMRC 68 persen, survei Indikator 68,3 persen dan hasil survei Poltracking 67,9 persen).

Sejumlah sosok kepala daerah juga menjadi sangat popular karena kinerja kepemimpinan mereka mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi dari masyarakat. Apresiasi yang tinggi itu diraih Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Konsistensi Polri melaksanakan reformasi internal pun sudah mulai membuahkan hasil. Tidak seperti tahun-tahun terdahulu, Polri kini tidak lagi menyandang status institusi terkorup.

Kinerja mumpuni dan proses perbaikan citra itu bisa dicapai dan berproses karena hadirnya sensitivitas para pimpinan institusi dalam menyikapi pandangan, kritik dan kecaman publik. Sensitivitas itu kemudian memicu semangat dan konsistensi melakukan perubahan dan pembaruan cara kerja internal dalam melayani publik.

Budaya kerja lama yang lelet, koruptif dan berbelit-belit ditinggalkan, kemudian diperbarui dengan mekanisme kerja yang semakin efisien dan efektif. Tidak hanya puas, tetapi publik merasa bangga dan nyaman karena aparatur negara dan daerah mengutamakan pelayanan.

Kontribusi dan produktivitas DPR RI selama ini terlanjur dibenamkan oleh persepsi negatif yang sudah lama terbentuk. Yakni rendahnya kinerja para wakil rakyat..

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News