Menkumham Kukuh, Pasal Penghinaan Presiden Tetap Diperlukan

Menkumham Kukuh, Pasal Penghinaan Presiden Tetap Diperlukan
Menkumham Yasonna Laoly. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menyatakan kebebasan berpendapat tidak bisa diberikan tanpa batasan.

Oleh karena itu, dia menilai perlu mempertahankan pasal penghinaan presiden di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Enggak bisa, kebebasan itu sebebas-bebasnya bukan sebuah kebebasan, itu anarki," kata Yasonna saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/6).

Politikus PDIP itu menuturkan, pada dasarnya kritik dari publik terhadap kebijakan pejabat adalah hal yang lumrah. Yasonna pun mengaku tidak masalah dikritik atas kebijakan sebagai menkumham.

Namun, kata dia, berbeda halnya ketika kritik berubah menjadi penghinaan. Apalagi, penghinaan dilayangkan secara pribadi terlepas dari jabatan yang diemban.

"Sekali lagi, soal personal yang kadang-kadang dimunculkan, presiden dituduh secara personal dengan segala macam isu," ucap pria asal Sumatera Utara itu.

Untuk diketahui, draf RKUHP terbaru memuat ancaman bagi orang-orang yang menghina Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui media sosial diancam pidana maksimal 4 tahun 6 bulan penjara.

Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 218 ayat 1 dan Pasal 219 yang bunyinya sebagai berikut:

Menkumham Yasonna Laoly tetap ingin mempertahankan pasal penghinaan presiden di RKUHP, simak alasannya...

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News