Menonton Teater Hipokrit di Panggung Pseudo Demokrasi

Oleh R.H.Handini Wulan, M.Ikom

Menonton Teater Hipokrit di Panggung Pseudo Demokrasi
Mahasiswa program Doktor Ilmu Komunikasi, USAHID R.H.Handini Wulan, M.Ikom. Foto: source for jpnn

Dalam berbagai ajaran agama dan tradisi, perbuatan hipokrit sangat tercela, dilarang dan diharamkan, sebab bisa merusak berbagai tatanan. Dalam ajaran Islam disebut, orang hipokrit atau munafik, menempati kerak neraka.

Kita mesti menolak budaya hipokrit, dan menyeret pelakunya ke pengadilan. Bila budaya ini makin berkembang, wajah demokrasi yang diagungkan akan bernuansa pseudo (palsu) demokrasi. Bila demokrasi makin palsu dan keropos, maka Republik yang bersendi demokrasi Pancasila ini terancam sebesar-besarnya dari berbagai arah, luar dan dalam, horizontal dan vertikal.

Mahkamah Konstitusi

Riak-riak pseudo demokrasi itu bisa kita saksikan dalam drama Mahkamah Konstitusi yang memuluskan Gibran sebagai cawapres. Aturan usia Capres dan Cawapres minimal 40 tahun, digugat oleh seorang mahasiswa dari Solo, dan bisa mengakal-bulusi aturan yang telah dirumuskan oleh ratusan orang penting di tanah air ini, Di antara mereka itu ada yang bergelar guru besar (profesor). Tragis, sekian pemikiran guru besar dapat digugat oleh seorang mahasiswa di mahkamah tertinggi pengadilan perkara konstitusi.

Lalu MK menggelar sidang untuk menindak hakim yang merupakan keluarga Jokowi. Sidang ini lagi-lagi hanya berupa ‘pertunjukan teater’ karena meski hakim dijatuhi hukuman, ia tidak dipecat dari MK, tidak diproses hukum. Keputusan yang ia buat tidak bisa dibatalkan. Seandainya putusan dapat dibatalkan, dan Gibran tidak maju menjadi Cawapres, mungkin peristiwa di MK itu tidak akan kentara sebagai teater hipokrit.

Begitulah pertunjukan teater, hal muskil bisa saja terjadi, dalam lakon Hamlet gubahan William Shakespeare, seorang adik merebut kekuasaan dari kakaknya dan menikahi istrinya. Namun ternyata, hal muskil itu bukan hanya berlaku di ranah teater yang sifatnya fiksi, justru di ranah fakta pun terjadi di tanah Nusantara ini. Amangkurat II misalnya (cucu Sultan Agung – Mataram), membawa lari salah satu selir ayahnya (Amangkurat I).

Sinyalemen pseudo demokrasi, juga terasa dalam praktik menyampaikan aspirasi yang merupakan salah satu aktivitas berdemokrasi itu sendiri. Cukup banyak masyarakat yang telah tercerabut dari akar kebaikan dan adab kesantunan. Bila mencermati sosial media terutama kanal X (twitter), betapa pseudo demokrasi makin marak dan mewabah.

Para pengguna sosmed bukan lagi saling mengeritik, bahkan sudah saling menghina dan menyudutkan. Arahnya bukan lagi horizontal antar-masyarakat, tapi sudah vertikal dari masyarakat ke pimpinan negara. Akun X resmi Presiden Joko Widodo misalnya, selalu saja ditanggapi komentar dari ‘user’ dengan kritik lembut hingga kritik menggunakan bahasa yang sangat sarkastis. Apalagi jelang Pilpres 2024 ini, kampanye pencitraan di satu sisi versus kampanye hitam di sisi lain, memperlihatkan masyarakat Indonesia ternyata bisa ‘setega dan seprimitif’ itu dalam mengumbar bahasa yang kasar.

Kleidoskop Pilpres sedari 2022 hingga awal 2024 ini tampak diwarnai oleh pertunjukan 'teater hipokrit'

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News