Migrasi ke Australia Segera Dimulai Kembali

Dia mengatakan kepada ABC jika dia dibayar kurang dari AU$100 (lebih dari Rp1 juta) per hari meski pun pekerjaan tersebut diiklankan dengan tarif AU$17 (lebih dari Rp170 ribu) per jam.
Mereka harus membayar AU$150 (lebih dari Rp15 juta) seminggu untuk tempat tidur di kontainer tersebut.
Dia menggambarkan kondisi kerja dan kehidupan di pertanian itu "sangat tidak sehat".
"Sangat melelahkan bekerja 11 jam sehari. Saya sering digigit nyamuk dan serangga selama musim panas," kata pria berusia 57 tahun itu.
"Ini murni eksploitasi," ujarnya.
Dia mengatakan sekitar 50 pekerja, sebagian besar dari Tiongkok daratan, harus berbagi empat kamar mandi dan dapur seadanya dengan empat kompor. Tiga bulan setelah tiba, dia berhenti dari pekerjaannya.
"Banyak dari mereka tidak bisa berhenti karena mereka tidak bisa berbahasa Inggris dan khawatir tak akan mendapatkan pekerjaan baru," kata Xueliang.
"Saya pikir Australia ini negara maju, tapi apa yang saya alami ini menunjukkan sebaliknya," tuturnya.
Sejak perbatasan ditutup pada Maret 2020, lebih dari 500.000 migran telah meninggalkan Australia, sementara jumlah pekerjaan tidak berkurang
- Korea Selatan dan Australia Ramaikan Semarang Night Carnival 2025
- Dunia Hari Ini: Israel Berlakukan Keadaan Darurat Akibat Kebakaran Hutan
- Permintaan Kerja dari Luar Negeri Capai 1,7 Juta, RI Baru Bisa Serap Sebegini
- Menteri Karding Berangkatkan 55 Perawat dari Universitas Binawan ke Austria
- Dunia Hari Ini: Amerika Serikat Sepakat untuk Membangun Kembali Ukraina
- Dunia Hari Ini: Pakistan Tuding India Rencanakan Serangan Militer ke Negaranya