Nalar Progresif Bawaslu Diskualifikasi Petahana

Oleh: Benny Sabdo, Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara

Nalar Progresif Bawaslu Diskualifikasi Petahana
Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara, Benny Sabdo. Foto: Dokpri for JPNN.com

Menerapkan Pasal 71 sebagai alat uji menduga petahana melakukan kecurangan adalah sesuatu yang tidak mudah. Sehingga tak ayal Bawaslu dan KPU pun memiliki pijakan tafsir yang berbeda. Hal ini terbukti KPU menilai rekomendasi Bawaslu keliru.

Setidaknya ada dua persoalan, yakni secara substansi dalam konteks pelaksanaan kewenangan, petahana dituntut melaksanakan program kerja dan agenda-agenda pembangunan yang ditetapkan perundang-undangan. Selanjutnya, petahana terikat dengan kewajiban Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Ketika program itu dilaksanakan secara otomatis melahirkan insentif politik bagi petahana.

Dalam perspektif substansi hukum pemilihan dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama,  pengaturan tentang penyelesaian dugaan pelanggaran oleh petahana yang berujung pada diskualifikasi belum terumuskan secara jelas dan tegas.

Kedua, diskualifikasi petahana sebagai calon kepala daerah dapat ditempatkan dalam kerangka sengketa tata negara pemilihan dengan basis pengujiannya adalah surat keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon. Pola pengujian ini dapat diuji oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung.

Ketiga, diskualifikasi petahana sebagai calon kepala daerah dapat ditempatkan dalam kerangka sengketa pemilihan dengan basis pengujiannya adalah sengketa antarpeserta pemilihan. Pola pengujian ini dilakukan dan diputus oleh Bawaslu yang bersifat final dan mengikat (Mawardi dan Jufri, 2019:71).

Sebaiknya peserta pemilihan fokus pada pola pengujian sengketa pemilihan. Selain sebagai sengketa tata usaha negara pemilihan, proses dugaan pelanggaran oleh petahana dapat juga dikategorikan sebagai sengketa pemilihan. Berdasarkan konsepsi Pasal 142 tentang sengketa pemilihan meliputi sengketa antarpeserta pemilihan dan sengketa antarpeserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan.

Apabila diperhatikan anatomi setiap perkara yang berbasis pada Pasal 71 ayat (1-3), maka corak sengketanya adalah sengketa antarsesama peserta pemilihan. Apabila pola penyelesaian dugaan pelanggaran oleh petahana berbasis sengketa pemilihan, bukan sengketa tata usaha negara pemilihan, maka putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat.

Lalu apa implikasinya, dalam konteks penyelesaian sengketa pemilihan maka dapat tidaknya seorang petahana didiskualifikasi karena melakukan pelanggaran sangat tergantung pemerikasaan di Bawaslu. Apabila Bawaslu mendapati pelanggaran sebagaimana yang disengketakan, Bawaslu dapat merekomendasikan kepada KPU untuk menjatuhkan sanksi diskualifikasi kepada petahana.

Nalar progresif Bawaslu dalam upaya menegakkan keadilan pemilihan perlu direplikasi di berbagai daerah pemilihan lainnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News